Makassar, IDN Times - Perahu motor kayu itu terus membelah ombak Selat Makassar. Angin laut langsung menerpa wajah. Hanya butuh 25 menit, terasa singkat untuk lari dari denyut Pantai Losari yang riuh. Jaraknya cuma 6,8 kilometer, tapi rasanya seperti mendarat di dunia lain.
Pulau Samalona.
Luasnya tak lebih dari tujuh hektare. Sebuah noktah hijau di tengah lautan biru. Saat perahu merapat, pemandangan yang menyambut adalah kanvas alam yang nyaris sempurna: air laut jernih berwarna toska di bibir pantai, bergradasi menjadi biru pekat di kejauhan. Pasir putihnya sehalus tepung. Pohon kelapa, seakan berbaris rapi, tumbuh menjulang di sekeliling pulau, menaungi rumah-rumah panggung kayu milik warga.
Jika kita berdiri di pesisir timur pulau, Kota Makassar terlihat seperti fatamorgana. Siluet gedung-gedung tingginya tampak samar, kontras dengan ketenangan di sini. Di Samalona, simfoni yang terdengar hanyalah debur ombak yang konsisten dan sesekali kicau burung yang melintas.
Di pulau yang masuk wilayah administrasi Kecamatan Mariso, Kota Makassar, Sulawesi Selatan ini, 13 keluarga dengan total 41 jiwa menggantungkan hidup. Warganya turun-temurun mendiami pulau itu. Rumah-rumah mereka, yang mayoritas juga berfungsi sebagai homestay, adalah nadi ekonomi.
"Di sini semua warga hidup dari pariwisata," kata Kamaruddin, Ketua RT di Samalona, saat berbincang dengan IDN Times, Kamis (16/10/2025). "Walau pun ada nelayan, biasanya ikannya hanya dijual untuk pengunjung di sini saja."
Samalona adalah magnet bagi mereka yang mencari jeda. Orang datang untuk berenang, bersantai di pantai, atau menyelam, menyaksikan terumbu karang berwarna-warni yang masih terjaga.
Pesona ini pernah diabadikan oleh musisi Imanez dalam lagunya yang populer di tahun 90-an:
Langit biru tak berbatas, ditemani cakrawala
Ombak kecil yang bercanda
Ucapkan selamat datang, ooh...
Namun, selama bertahun-tahun, "ucapan selamat datang" itu diiringi oleh deru yang memekakkan telinga. Ironisnya, di pulau yang dicari orang karena kesepiannya, polusi suara adalah keniscayaan.
Sebelum Agustus 2025, setiap rumah di Samalona adalah pulau kecil bagi dirinya sendiri, setidaknya untuk urusan energi. Setiap malam, belasan mesin genset (generator set) akan menyala serentak.
"Di sini ada beberapa penginapan. Dulu ada kira-kira sebelas genset," kenang Kamaruddin. "Kalau malam, ribut sekali pas menyala semua. Pengunjung bilang, 'Apa yang mau kita dengar ini?' Padahal mereka cari sepi di sini. Polusi juga banyak, asap di mana-mana."
Ini adalah dilema klasik pariwisata pulau kecil: kebutuhan akan kenyamanan modern seperti listrik untuk lampu, kipas angin, hingga mengisi daya gawai, berbenturan langsung dengan esensi wisata alam berupa ketenangan dan udara bersih.
Belum lagi soal biaya. Menghidupkan genset di pulau terpencil adalah kemewahan yang mahal.
Misba, salah satu warga yang membuka homestay sekaligus menyewakan perlengkapan snorkeling, merincikan hitungannya. "Dulu masing-masing rumah pakai genset. Bising. Pakai bensin, beli Rp15 ribu per liter," ujarnya.
Pengeluaran itu fluktuatif, tergantung jumlah tamu. "Pemakaian satu bulan tergantung, kadang 7 sampai 10 liter per hari kalau ada tamu menginap. Rata-rata (pengeluaran) Rp4,5 juta per bulan," tutur Misba.
Angka itu adalah beban besar bagi warga yang pendapatannya mengandalkan keramaian akhir pekan. "Biaya penginapan Rp750 ribu per hari. Satu set snorkeling Rp50 ribu. Biasanya ramai Sabtu-Minggu," lanjutnya.
Harga bahan bakar yang mahal juga mengunci harga sewa. "Dulu kalau harga penginapan Rp500 ribu per malam, pengunjung mau tawar tidak bisa. Karena uangnya dipakai beli bahan bakar," timpal Kamaruddin.