Kondisi lahan masyarakat adat Pamona dan warga Desa Pancakarsa, lahannya diduga diserobot perusahaan. IDN Times/Istimewa
Terpisah, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel Muhammad Al Amin mengungkapkan, lahan 814 hektare yang diklaim hanya mampu dikelola oleh PTPN sebesar 514 hektare. Sertifikat HGU perusahaan, kata Amin, diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Luwu Timur di tahun 1995.
"Nah ini yang janggal. Kalau merunut kasus ini, mengelola sebelum HGU diterbitkan. Apalagi mengklaim bahwa tanah ulayat masyarakat adat adalah tanah perusahaan yang sampai saat ini tidak sama sekali diganti rugi oleh perusahaan," tegas Amin.
Sisa lahan 300 hektare lebih yang diklaim PTPN, dimanfaatkan kembali oleh masyarakat adat dan warga desa lainnya untuk menanam. Mereka menyambung hidup dari hasil tanam di tanah yang dimanfaatkan. Mei 2020 lalu, masyarakat yang memanfaatkan lahan tersebut kembali tergusur.
"Artinya, 500 lebih hektare lahan masyarakat ada belum selesai diganti rugi, lahan masyarakat yang dimanfaatkan kembali itu juga akhirnya digusur oleh perusahaan. Belum selesai dua masalah itu, perusahaan kembali menyerobot tanah di desa lainnya. Yaitu di Desa Wonorejo tetangga Desa Panca Karsa," ucap Amin.
Dikonfirmasi terpisah, Manajer PTPN XIV Luwu Timur, Andi Evan Triwisno, hanya singkat menanggapi persoalan yang terjadi. Evan mengaku sedang mempersiapkan agenda keluar kota. "Baiknya dibicarakan di kantor. Saya di Burau (Kecamatan di Luwu Timur), besok (Selasa, 24 November) pagi," imbuh Evan kepada IDN Times.