Ilustrasi Kekerasan pada Anak (IDN Times/Sukma Shakti)
Haedir melanjutkan, berdasarkan hasil pemeriksaan lanjutan dalam penganan P2TP2A Makassar, ditemukan bahwa kondisi psikologis anak korban berpengaruh akibat kejadian tersebut. Tes dilaksanakan pada 20 Desember 2019. Bukti itu juga yang telah diajukan kepada tim pendamping hukum dalam gelar perkara di Polda Sulsel.
"Dalam laporan dinyatakan bahwa para anak korban mengalami kecemasan akibat kekerasan seksual yang dialami yang dilakukan oleh ayah kandung korban beserta dua temannya. Adapun tidak ditemukannya tanda-tanda trauma pada para anak tidak berarti kekerasan seksual tersebut tidak terjadi," kata Haedir.
Menurut Haedir, temuan itu, berbeda dengan dua surat Visum et Repertum (VeR) yang disebut penyidik kepolisian, bahwa tidak terdapat tanda kekerasan. Padahal, pelapor memiliki bukti foto dubur dan kemaluan anak korban yang memerah. Foto diambil pada Oktober 2019. Sepanjang waktu itu, para anak korban terus mengeluhkan sakit pada area yang dimaksud.
"Bahwa pelapor melakukan pemerikaaan terhadap para anak korban di Puskesmas Malili dan mendapatkan surat rujukan untuk berobat yang dikeluarkan oleh dokter lain, tertulis hasil diagnosa bahwa para anak korban mengalami kerusakan pada bagian anus dan vagina, serta child abuse," Haedir melanjutkan.
Haedir menambahkan, bukti-bukti dan argumentasi hukum tersebut sudah disampaikan dalam gelar perkara. Namun hasil seluruhnya tidak dipertimbangkan oleh Polda Sulsel. Pada 14 April 2020 Polda Sulsel mengeluarkan Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pengawasan Penyidikan (SP2HP2) dengan nomor: B/ 338/ IV/ RES.7.5/ 2020/ Ditreskrimum.
"Surat tersebut pada pokoknya memberitahukan bahwa proses penyelidikan terhadap perkara a quo dihentikan penyelidikannya karena tidak ditemukan dua alat bukti yang cukup dan memberikan rekomendasi kepada penyidik agar menghentikan proses penyelidikan dan melengkapi administrasinya."