Sekretariat LBH Makassar di Jalan Nikel I Blok A22 No. 18, Kelurahan Ballaparang, Kecamatan Rappocini, Rabu (24/12/2025). IDN Times / Darsil Yahya
Kekerasan negara juga masih berlangsung terhadap anak. Ambara menyatakan pasca-aksi Agustus 2025, aparat kepolisian melakukan tindakan represif terhadap Anak Berhadapan Hukum (ABH). Pola penangkapan acak, pengerahan kekuatan aparat yang tidak proporsional pada saat melakukan penangkapan, penganiayaan fisik dalam pemeriksaan, pemaksaan pengakuan,
"Serta penunjukan penasihat hukum yang tidak diketahui latar belakangnya telah mencederai prinsip keadilan," kata Ambara.
Menurutnya, kekerasan aparat terhadap ABH ini berdampak pada terlanggarnya hak atas perlindungan anak, hak atas bantuan hukum yang layak, hak bebas dari kekerasan fisik/penyiksaan, dan hak atas pendidikan yang terputus akibat proses hukum yang dipaksakan.
Tak hanya itu, ia juga menyebut ruang sipil bagi perempuan di dunia maya juga mengalami penyempitan. Upaya doxing terhadap perempuan seperti Chiki dan Zara menjadi alat baru untuk membungkam kritik. Chiki melalui unggahan video terkait aksi demonstrasi yang terjadi pada Agustus 2025, dan Zara melalui opini pribadi terhadap konten influencer.
"Pelaku melakukan penelusuran identitas, penyebaran data pribadi, serta pengaitan antara identitas digital dan keberadaan fisik. Dalam kasus Chiki, penjangkauan dilakukan melalui lingkar sosialnya untuk menanyakan lokasi terkini," ucapnya.
Sementara dalam kasus Zara, data pribadi digunakan secara langsung sebagai alat ancaman. Perbuatan tersebut telah melanggar hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas privasi dan keamanan data pribadi.
"Akibatnya, kedua korban mengalami tekanan psikologis yang signifikan, termasuk stres akut, ketakutan, dan perasaan terisolasi," tandasnya.