Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Rammang-Rammang, Maros (google.com/geoparkmarospangkep)
Rammang-Rammang, Maros (google.com/geoparkmarospangkep)

Makassar, IDN Times - Sungai di kawasan karst Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, bukan hanya jalur transportasi wisata. Bagi warga setempat, sungai adalah ruang hidup yang mesti dijaga. 

Komunitas Anak Sungai Rammang-Rammang hadir sebagai wadah warga untuk merawat sungai dan lingkungan di kawasan karst Maros. Kelompok ini juga mendorong peningkatan kapasitas masyarakat agar lebih berdaya sekaligus menjaga keberlanjutan pariwisata.

Ketua Komunitas, Iwan Dento, menjelaskan lahirnya komunitas ini berawal dari pengalaman mereka di Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Rammang-rammang. Jika Pokdarwis lebih menitikberatkan pada pengembangan pariwisata, komunitas ini diarahkan khusus untuk mengurus lingkungan.

"Setelah menyelesaikan kegiatan di Pokdarwis, kami berinisiatif membentuk sebuah komunitas baru. Fokusnya diarahkan pada konservasi lingkungan, pengembangan produk lokal, serta peningkatan kapasitas masyarakat," kata Iwan Dento, saat diwawancarai IDN Times via telepon, Minggu (14/9/2025).

1. Menjaga ekosistem sambil menggerakkan ekonomi wisata

Rammang-Rammang, Geopark Maros Pangkep (dok.pribadi/Gusti Nur Iwari)

Komunitas ini mengembangkan berbagai program yang menyasar langsung persoalan lingkungan. Mulai dari pengelolaan rumah sampah hingga daur ulang, kegiatan mereka juga dilengkapi dengan aksi rutin membersihkan sungai dan masih banyak kegiatan bermanfaat lainnya.

Anak-anak juga mendapat ruang belajar mengaji, bahasa Inggris, hingga sanggar seni. Sementara kelompok ibu dan bapak diarahkan mengembangkan kerajinan, jajanan tradisional, hingga alat musik.

Menurut Iwan, sungai di Rammang-Rammang tidak hanya berfungsi sebagai aliran air bagi warga sekitar. Keberadaannya juga menjadi daya tarik utama yang menentukan pengalaman wisatawan ketika berkunjung. 

"Untuk menikmati Rammang-Rammang, pengunjung harus naik perahu karena tanpa itu perjalanan terasa belum lengkap. Daya tarik utamanya adalah wisata sungai dengan panorama karst, berbeda dengan Leang-leang atau Bantimurung yang menonjolkan gua dan air terjun karst," jelasnya.

Komunitas ini kini mengelola sekitar 4 kilometer jalur sungai yang menjadi rute utama wisata. Dari aktivitas wisata berbasis sungai, perputaran ekonomi masyarakat diperkirakan mencapai Rp9 miliar per tahun.

Atas kiprahnya, Komunitas Anak Sungai Rammang-Rammang meraih peringkat ketiga Lomba Komunitas Peduli Sungai tingkat Nasional 2022 yang digelar Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Dirjen SDA) Kementerian PUPR. Penghargaan itu menegaskan peran warga Maros dalam menjaga sungai bukan hanya demi pariwisata, melainkan juga keberlangsungan ekosistem.

2. Sampah kiriman jadi tantangan sehingga perlu kelola sungai bersama

Rammang-Rammang, Geopark Maros Pangkep (dok.pribadi/Gusti Nur Iwari)

Kondisi pasang-surut menjadi tantangan tersendiri bagi sungai di Rammang-Rammang. Saat air naik, aliran sering membawa kiriman sampah dari wilayah lain yang akhirnya menumpuk di kawasan ini.

"Itu kalau bicara soal pasang surut. Tapi lain hal ketika sungai jadi kotor. Kadang kami dapat kiriman sampah dari aliran air laut atau dari sambungan sungai. Ada juga orang-orang yang sengaja membuang sampah di jembatan. Akhirnya kami yang kena dampaknya," kata Iwan.

Dia menilai pengelolaan sungai tak bisa dikerjakan satu pihak saja. Kesadaran kolektif masyarakat perlu dibangun, sekaligus keterlibatan pemerintah dalam mencegah pencemaran lintas wilayah. 

"Kalau dilihat dari panjangnya, sungai ini melewati beberapa kota dan wilayah. Jadi meskipun kami berusaha menjaga kebersihan di sini, ketika air pasang biasanya sampah terbawa hingga ke tempat kami. Sementara itu, kami juga tidak bisa menutup aliran sungai dengan jaring, karena jalur ini menjadi akses keluar masuk warga," kata Iwan.

3. Sungai bukan sekadar aliran air tapi ruang hidup

Rammang-rammang (dok. pribadi/unsalaila)

Menurut Iwan, banyak orang masih memandang sungai hanya sebagai tempat air mengalir. Rumah-rumah yang dibangun membelakangi sungai membuat kawasan ini kerap berubah menjadi lokasi pembuangan sampah, bahkan di tepian yang tidak dihuni.

"Sungai hanya dipandang seperti itu bagi sebagian orang. Menurutku itu masalah karena di sungai bagi kami ruang hidup. Ada air di sana. Kita punya makanan juga dari sungai," katanya.

Bagi masyarakat Sulawesi, sungai bukan sekadar aliran air, tetapi bagian dari identitas. Banyak aktivitas sehari-hari berlangsung di sungai, mencerminkan kedekatan yang membuatnya begitu penting dalam kehidupan.

Di sisi lain, pola pikir serupa juga terlihat pada pemerintah. Justru pemerintah sering menjadi pihak yang paling dominan memperlakukan sungai sebatas saluran air yang mengalir.

"Ada sejumlah sungai atau saluran air yang dibeton hingga akhirnya hanya berfungsi sebagai jalur aliran. Akibatnya, air hujan tidak terserap ke dalam tanah dan memicu risiko banjir besar disertai longsor, karena tanah dibiarkan kering tanpa cadangan air," katanya.

Pesan Iwan di Hari Sungai Internasional terdengar sederhana namun penuh penekanan. Dia menegaskan bahwa pengelolaan sungai adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya beban masyarakat atau pemerintah.

"Memang sangat kompleks kalau kita bicara tanggung jawab,ini harus menjadi tanggung jawab bersama karena bisa jadi juga pelakunya adalah pelaku bersama," katanya.

Editorial Team