Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
1001293854.jpg
Komisioner Komnas Perempuan Daden Sukendar dalam diskusi bersama jurnalis di Kantor Yayasan Pemerhati Perempuan, Makassar, Jumat (31/10/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Makassar, IDN Times - Sulawesi Selatan belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur perlindungan perempuan. Padahal, isu kesetaraan gender sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) provinsi ini. 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong penyusunan perda perlindungan perempuan di Sulawesi Selatan. Perda ini diharapkan dapat memperkuat penanganan kasus kekerasan sekaligus menghapus berbagai bentuk diskriminasi gender.

Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar, menekankan pentingnya adanya landasan hukum formal untuk perlindungan perempuan. Karena itu, Komnas Perempuan mendorong penyusunan Perda Perlindungan Perempuan di Sulawesi Selatan yang hingga saat ini belum ada.

"Meskipun sudah ada kebijakan tentang pengarusutamaan gender, akan tetapi perda perlindungan terhadap perempuan nampaknya memang belum ada di Sulawesi Selatan ini. Kita ingin mendorong itu," kata Daden dalam diskusi bersama jurnalis di Kantor Yayasan Pemerhati Perempuan, Makassar, Jumat (31/10/2025).

1. Beda data antara Komnas Perempuan dan Simfoni PPA

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan (IDN Times/Aditya Pratama)

Data dari Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2024 mencatat 11.406 kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Selatan. Dari jumlah tersebut, kasus terbanyak berakhir dengan putusan sebanyak 11.345, sementara ranah personal tercatat 28 kasus, ranah publik 16 kasus, ranah negara 2 kasus, dan penuntutan 14 kasus.

Sementara itu, data dari Simfoni PPA 2024 hanya mencatat 1.211 kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Selatan. Rinciannya meliputi kekerasan fisik 244 kasus, psikis 495 kasus, seksual 14 kasus, eksploitasi 3 kasus, dan kategori lainnya 96 kasus.

Terlihat adanya perbedaan signifikan antara kedua data tersebut. Menurut Daden Sukendar, perbedaan itu muncul karena data Komnas Perempuan dihimpun dari berbagai sumber, sehingga secara garis besar berbeda dengan catatan yang ada di Simfoni PPA.

"Di antaranya ada yang melalui laporan langsung ke Komnas Perempuan, ada yang melalui lembaga layanan mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dan beberapa data lainnya, sedangkan dari Simfoni itu tentunya dari Kementerian PPA, kami juga memasukkan hal tersebut," kata Daden. 

2. Komnas Perempuan dorong pentahelix untuk cegah kekerasan terhadap perempuan

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Daden menekankan bahwa angka kasus kekerasan yang tinggi tidak selalu mencerminkan kabar buruk. Dia menjelaskan ada peran dari pemerintah dan masyarakat sipil, serta lembaga layanan, yang setiap tahun berupaya menanggulangi, mencegah, dan menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual.

"Meskipun ada data yang cukup tinggi, tapi kami menganggap bahwa data yang cukup tinggi itu menunjukkan kinerja daripada lembaga layanan yang memang sudah melakukan langkah-langkah begitu," kata Daden. 

Komnas Perempuan pun mendorong koordinasi lintas pihak mulai pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, pengusaha, dan media atau yang disebut pentahelix, untuk memastikan pembangunan berperspektif gender. Daden menekankan bahwa langkah-langkah pencegahan harus terus dijalankan agar kasus kekerasan tidak meningkat. 

"Harapannya mudah-mudahan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Selatan ini bisa tertanangani dengan baik dan juga penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan bisa tercapai," kata Daden. 

3. Angka meningkat karena korban berani melapor

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (IDN Times/Nathan Manaloe)

Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer, juga mengakui angka kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Selatan cukup tinggi. Dia menjelaskan hal ini terjadi karena korban kini lebih berani melapor dan mengetahui mekanisme pelaporan yang tersedia.

"Nah ini tentu saja angka tinggi salah satunya juga karena masyarakat semakin tahu haknya, semakin mendapatkan akses untuk pelaporan," katanya. 

Hal ini menjadi keprihatinan tidak hanya bagi lembaga pengada layanan, tetapi juga bagi pihak-pihak lain yang terkait dengan pemulihan psikologis korban. Penanganan secara fisik maupun melalui jalur hukum juga menjadi perhatian penting bagi para pihak yang terlibat.

4. Komnas Perempuan optimalkan layanan dan pendampingan korban kekerasan di daerah

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan (IDN Times/Nathan)

Lebih jauh, Chatarina menjelaskan bahwa di tingkat daerah, Komnas Perempuan menyalurkan pengaduan melalui unit pengaduan dan rujukan. Setiap pengaduan kemudian diarahkan ke lembaga mitra pengada layanan yang sesuai dengan kebutuhan korban.

"Misalnya korban membutuhkan penanganan yang lebih awal adalah penanganan psikologis, maka kita akan menghubungi, merujuk ke lembaga terkait pelayanan psikologis, atau misalnya membutuhkan pelayanan untuk fisik mungkin bisa menghubungi rumah sakit," kata Chatarina. 

Sementara untuk jalur hukum, Komnas Perempuan menyediakan pendampingan melalui lembaga layanan yang terbiasa menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Contohnya, korban dapat dibantu oleh lembaga bantuan hukum seperti LBH.

Secara umum, Komnas Perempuan memberikan apresiasi kepada lembaga pengada layanan karena meskipun terbatas dari segi SDM dan anggaran, mereka terus berupaya memperjuangkan hak-hak korban. Dari Sabang hingga Merauke, lembaga-lembaga tersebut tetap aktif mencari keadilan bagi korban kekerasan.

"Jadi perspektif terhadap korban ini terasakan sekali, dan keberpihakan terhadap korban juga banyak yang sampai mengorbankan mungkin apa yang dimiliki secara pribadi untuk keperluan korban," katanya.

Editorial Team