Ketua GP Ansor Sebut Masalah Uighur Berlatar Belakang Ekonomi dan SDA

Makassar, IDN Times - Beberapa hari ini, etnis Uighur di Xinjiang, Tiongkok, kembali menjadi pusat perhatian di Tanah Air. Namun bukan perihal reaksi atas kebijakan terbaru pemerintahan Xi Jinping untuk etnis minoritas tersebut, melainkan ada tudingan bahwa sejumlah ormas Islam dalam negeri dibujuk untuk bungkam.
Polemik berasal dari laporan di laman surat kabar AS, The Wall Street Journal (WSJ), edisi Rabu (11/12) pekan silam.
Artikel berjudul "How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps" berisi dugaan kuat bahwa Pemerintah Tiongkok hendak mengubah persepsi umat Muslim Indonesia perihal nasib warga Muslim di Xinjiang.
1. Laporan terbaru surat kabar Wall Street Journal menyebut sejumlah ormas Islam nasional mendapat dana dari Pemerintah Tiongkok

WSJ menyebut adanya dugaan kucuran dana ke beberapa ormas Islam di Indonesia sekembali dari program tur ke Xinjiang dan Urumqi. Tudingan tersebut kemudian dibantah oleh petinggi Majelis Umat Islam (MUI) dan Muhammadiyah, dua ormas yang oleh WSJ disebut jadi penerima.
Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, turut angkat bicara perihal laporan WSJ sekaligus menawarkan perpektif lain dalam memandang masalah terkait. Ia menyatakan tudingan persekusi yang dialami etnis Muslim Uighur diduga berpangkal dari masalah ekonomi.
2. Tindakan represif terhadap etnis minoritas Uighur dianggap berasal dari polemik eksploitasi wilayah Xinjiang yang kaya gas

Menurut data GP Ansor, tindakan represif pemerintah Negeri Tirai Bambu berasal dari perkara penguasaan lahan kaya minyak. Pihaknya mencatat bahwa di Xinjiang termasuk wilayah yang kaya sumber daya alam, yakni gas bumi dan minyak.
Otoritas Tiongkok pada awal Oktober silam menyebut daerah otonomi tersebut diperkirakan menyimpan cadangan gas mencapai 115,3 miliar meter kubik.
Menurut Gus Yaqut --sapaan akrabnya--, isu agama, budaya dan lain-lain membuat motif asli jadi tersamar, serta berujung pada kian rumitnya masalah Uighur.
"Jadi, berita tentang etnis muslim Uighur dengan segala bumbunya seperti ditulis The Wall Street Journal, saya kira perlu ada klarifikasi. Jangan-jangan ini hanya soal ingin menguasai lahan di Xinjiang yang kaya akan sumber daya alam saja" ungkapnya dalam rilis pers yang diterima IDN Times pada Senin (16/12).
3. Kementerian Luar Negeri RI diminta segera melakukan klarifikasi

Karenanya, Gus Yaqut dan GP Ansor memilih hati-hati dalam berkomentar. Akan tetapi ia mendesak agar pihak-pihak terkait, seperti Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tiongkok dan Kementerian Luar Negeri RI, segera melakukan klarifikasi.
Ia turut meminta agar pihak-pihak tersebut mau duduk semeja untuk membahas apa yang bisa dan sebaiknya Indonesia lakukan demi menciptakan perdamaian di Xinjiang.
Lebih jauh, Gus Yaqut menyebut kondisi geopolitik dunia terkini turut andil dalam komplikasi perkara Uighur-Xinjiang, salah satunya terciptanya narasi Islam kontra Tiongkok. Ia merujuk pada situasi terkini Amerika Serikat vs Tiongkok yang kini terlibat dalam "perang dingin baru" untuk utusan politik dan ekonomi.
4. GP Ansor turut memandang "perang dingin baru" AS vs Tiongkok turut andil dalam terciptanya perubahan narasi

Di sisi lain, GP Ansor paham bahwa Tiongkok punya misi memperkuat hubungan dengan para pemangku kebijakan dan tokoh berpengaruh dari seluruh dunia dalam melihat masalah Uighur. Termasuk tokoh NU, Muhammadiyah, para akademisi, wakil media massa dan lain-lain.
"Ansor juga dapat memahami bagaimana Amerika Serikat dan aliansinya melalui semua kanalnya bersuara untuk kepentingan dan keuntungan mereka, termasuk Wall Street Journal (WSJ) yang membeberkan laporan terkait hal ini, tapi di saat bersamaan mempromosikan layanan berlangganan untuk jadi pembacanya," pungkas Gus Yaqut.
5. Sebelumnya, Muhammadiyah dan MUI sudah membantah tudingan menerima aliran dana

Sebelumnya, Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kompak membantah tudingan sikap diam terkait masalah Uighur lantaran kecipratan dana dari Pemerintah Tiongkok.
"Tidak ada, Muhammadiyah tidak terima apa pun yang jadi kompensasi, kecuali hanya undangan ke sana (Xinjiang)," kata Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo saat dihubungi IDN Times, pada Jumat (13/12) silam.
Pernyataan bernada sama turut datang dari Ketua MUI Bidang Kerja Sama Luar Negeri, KH Muhiddin Junaedi.
"Tidak ada, kita tidak dikasih apa-apa, ya hanya makan saat berada di sana (Xinjiang)," papar Muhiddin yang menjadi ketua rombongan ormas Islam ketika menyambangi Daerah Otonomi Xinjiang pada medio Februari 2019.