Finahliyah Hasan, dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Bosowa, Makassar/universitasbosowa.ac.id
Proses resettlement di masa sekarang, yang sudah memakan waktu bertahun-tahun justru kian lama. Terlebih beberapa negara tujuan menyebut pandemik COVID-19 sebagai dalih mengurangi jumlah pengungsi yang diterima. Trennya cenderung meningkat.
"Terkait dengan mekanisme, banyak negara yang kemudian kewalahan, khususnya negara yang banyak menampung pengungsi, seperti Indonesia. Kewalahan karena negara-negara yang menjadi tujuan pengungsi menerapkan kebijakan pembatasan (restriction policy) yang cenderung ketat saat menerima pengungsi dari luar," ujar Finahliyah Hasan, dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Bosowa, Makassar, saat berbicara dengan IDN Times, Jumat, 11 Februari 2022.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan data UNHCR, proses resettlement tetap dilakukan. Tapi progresnya sangat lama. Alhasil, ada beberapa negara yang selama ini sudah menampung banyak pengungsi didesak untuk segera memberi proteksi permanen.
"Karena pada dasarnya, sebagian besar menampung pengungsi yang sebenarnya tidak berkewajiban menerima. Tapi, kondisinya yang terpaksa membuat mereka menerima pengungsi dalam jangka waktu yang lama," kata Fina.
Kombinasi sulitnya proses resettlement dan tantangan yang datang dari dalam negara tujuan, membuat Indonesia didesak untuk menampung saja selama mungkin. Itu disebut sebagai solusi terbaik.
"Ibaratnya, mereka ditampung di Indonesia dulu sebelum pindah ke negara ketiga (tujuan). Nah, masalahnya resettlement tidak memiliki peluang yang besar untuk dilakukan. Makanya perlu ada alternatif lain yang ditempuh," ungkap Fina.
Ia pernah berbicara dengan pihak IOM terkait sampai kapan para pengungsi di Indonesia harus menunggu berkas resettlement mereka diberi stempel persetujuan. Jawabannya? Abu-abu, tanpa titik terang.
"Mereka cuma bilang harus menunggu. Saya tanya 'sampai kapan?' Ternyata tidak ada jawaban yang jelas. Jadi, pada intinya mereka tidak punya bayangan tentang proses dan peluangnya akan seperti apa," sambungnya.
Sebagai gambaran, Indonesia memilih tidak menandatangani Konvensi PBB 1951 tentang Pengungsi. Sikap ini juga ditempuh oleh mayoritas negara-negara Asia Tenggara. Hanya tiga anggota ASEAN yang menandatangani. Antara lain Kamboja, Filipina dan Timor Leste. Selain itu, lima negara anggota blok ekonomi G20 (termasuk Indonesia) juga tak melakukannya. Semuanya dari Asia: Indonesia, India, Arab Saudi, Korea Selatan dan Singapura.
Selain itu, kondisi yang serba terbatas di negara kedua (negara penampung, host country) membuat para pengungsi merasa jengah. Mereka tak bisa bekerja, leluasa bepergian, mendapat pendidikan, mengembangkan kapasitas diri, mencari penghasilan, dan lain-lain. Akses pada hak-hak dasar sebagai manusia bisa disebut nyaris nihil. Ditambah proses resettlement yang sangat lama, tak heran mereka memilih turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutan.
"UNHCR menyebut bahwa peluang mereka diterima cuma satu persen. Maka, tuntutan-tuntutan itu secara normal kemudian muncul. Mereka tentu jengah berlama-lama di negara sementara," kata perempuan yang saat ini menempuh studi doktoral di Universitas Gajah Mada tersebut.
Maka muncul keinginan untuk membuat organisasi yang selama ini memberi proteksi pada pengungsi untuk mengadvokasi. Hal tersebut dilakukan untuk mencari jalan keluar selama jalani masa penuh ketidakpastian. Meski begitu, Indonesia disebut wajar menolak tuntutan para pengungsi karena tidak memiliki kewajiban.
Dengan ruang gerak serba terbatas, mereka terpaksa memutar otak. Segala aktivitas dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mulai dari belajar bahasa, mengasah keterampilan, hingga menambah pemasukan. Pagar tinggi rumah detensi seakan bukan penghalang.
Tak lengkap berbicara tentang nasib pengungsi tanpa menyinggung hukum internasional. Sebelumnya, sudah ada Konvensi PBB 1951 tentang pengungsi. Menurut Fina, arah nasib mereka ada dua yakni dipulangkan secara sukarela ke negara asal (voluntary repatriation) atau ditempatkan ke negara tujuan (resettlement). Tapi, serangkaian persyaratan yang harus dipenuhi seorang pengungsi sebelum sah mendapat kartu dari UNHCR juga cenderung rumit.
"Untuk diproses sampai negara tujuan, harus ada beberapa syarat yang harus mereka penuhi. Yang pertama, mereka harus punya dokumen Refugee Status Determination sebagai bahwa mereka sudah sah disebut pengungsi. Ini agar mereka punya hak menuntut ditempatkan ke negara tujuan," ungkap Fina.
"Tapi, untuk mendapat RSD ini sangat susah. Mereka harus membuktikan kalau mereka betul-betul seseorang yang terancam hidupnya dan ketika kembali ke negara asal bisa lebih parah keamanannya. Ketika terbukti, baru kemudian diproses hingga mereka mendapatkannya," imbuhnya.
Terkait deportasi, hal tersebut juga terlarang di mata hukum internasional. Ada non-refoulement, prinsip yang mengikat seluruh negara, di mana sebuah pemerintah tidak boleh mengembalikan secara paksa pengungsi atau orang asing yang meminta bantuan dan pertolongan.
"Kalau kemudian misalnya ada orang Afganistan yang ke Indonesia untuk meminta bantuan, pemerintah Indonesia tidak berhak mendeportasi. Terlebih jika orang Afghanistan ini bisa membuktikan bahwa keselamatan mereka terancam. Jadi, pemerintah Indonesia harus memfasilitasi dan mengakomodir," tuturnya.
"Kecuali, kalau memang setelah ditelusuri, orang yang meminta perlindungan ke Indonesia ini ternyata penjahat atau buronan. Baru Indonesia melakukan deportasi secara paksa, berbeda dengan yang secara sukarela," sambungnya.
Fina sudah melakukan penelitian terkait refugee sejak tahun 2015, dengan politik migrasi jadi topik disertasinya. Termasuk Makassar, ia sudah menyambangi lima kota untuk melihat dari dekat seperti apa kehidupan para pengungsi. Dari segala observasi, ia mengatakan bahwa keterbatasan ibarat jadi makanan sehari-hari mereka.
Serangkaian demonstrasi serta kasus bunuh diri para pengungsi mulai marak terjadi. Indonesia sebagai negara kedua, menurut Fina, sebenarnya bisa melakukan hal-hal untuk meredam hal ini. Dan semuanya juga sudah dipraktikkan negara-negara lain yang bernasib sama.
"Pertama adalah pembuatan economic zone, di mana para pengungsi dan para pencari suaka bisa melakukan aktivitas ekonomi secara bebas. Tempatnya terpusat dan tidak tersebar. Ini agar menekan narasi bahwa mereka akan mengancam ekonomi masyarakat lokal," jelas Fina.
Ini agar para pengungsi dapat mengembangkan kapasitas yang mereka miliki. Tak cuma mengasah bakat dan kreativitas, mereka mendapat lokasi tertentu untuk menunjukkan hasil keterampilan mereka.
Kedua yakni preference matching, di mana para pengungsi dikelompokkan berdasarkan negara tujuan. Kemudian negara tujuan menyebutkan kriteria dan keteramilan pengungsi yang mereka bisa terima. Entah itu dari segi bahasa, teknologi, budaya, dan lain-lain.
"Semuanya ini bisa dicocokkan. Indonesia kemudian membuat kebijakan melibatkan organisasi internasional dan komunitas yang terlibat di bidang HAM untuk membangun sistem preference matching. Setelah cocok, baru disalurkan," papar Fina.
"Terakhir adalah pemberian humanitarian visa. Visa ini digunakan untuk mengakses hak-hak mereka yang mendapat visa kerja atau visa tinggal," sambungnya.
Visa kemanusiaan memang punya durasi waktu berlaku, sama seperti visa lain. Tapi, Fina menganggap ini adalah langkah bijak ketimbang pengungsi di Indonesia terikat rantai tak terlihat bernama keterbatasan.
"Tanpa aktivitas rutin, kondisi psikologis mereka bisa terpengaruh. Akhirnya banyak yang bunuh diri, melakukan tindakan kriminal seperti pencurian dan penipuan," tegas Fina.