Laporan Sahrul Ramadan dan Asrhawi Muin
Yuilanti, wanita 23 tahun, menemani ayahnya memeriksakan kesehatan di sebuah rumah sakit swasta di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Minggu, 31 Mei 2020 lalu. Sang ayah, LW (63), mengeluh sakit pada lambung, yang sering dia alami beberapa tahun terakhir. Jika sakitnya kambuh, rumah sakit ini yang jadi langganan berobat.
Biasanya, kata Yuli, petugas RS akan memeriksa LW, memberikan obat mag, lalu membolehkannya pulang. Kondisi ayahnya pun bakal segera membaik setelah minum obat. Tapi kejadian pada Minggu siang itu berbeda. Pihak RS menyatakan LW harus dirawat dengan status pasien dalam pengawasan (PDP). Yuli diminta menandatangani surat persetujuan agar ayahnya dirawat dengan standar penanganan COVID-19.
“Tidak ada pilihan lain karena saya lihat bapak kesakitan dikasih baring di tempat tidur UGD, akhirnya saya tandatangani saja," kata Yuli kepada IDN Times, Sabtu (27/6).
Hasil rapid test terhadap LW menunjukkan hasil reaktif. Dokter, merujuk foto toraks, menyebut terdapat pneumonia ringan pada paru-paru pasien. Belakangan, dokter menyebut berdasarkan hasil tes swab LW terkonfirmasi positif COVID-19 dengan kategori orang tanpa gejala (OTG).
Yuli menyebut penanganan medis terhadap ayahnya aneh. Pertama, dokter tidak memperlihatkan bukti tertulis hasil pemeriksaan swab. Perawat disebut hanya memperlihatkan lewat ponsel dokumen PDF berisi nama pasien positif. Berulang kali meminta bukti tertulis kepada RS, tapi hasilnya nihil hingga sang ayah akhirnya dinyatakan sembuh.
Keanehan berikutnya, kata Yuli, petugas RS tidak melakukan penelusuran atau tracing kontak terhadap pasien LW. Yuli sendiri melakukan isolasi mandiri bersama keluarga di rumah atas inisiatif sendiri.
“Kan seharusnya kalau mau ikut protap, kita sekeluarga ini sudah jadi orang dalam pemantauan (ODP). Karena kontak langsung dengan bapak. Apalagi saya, yang temani ke rumah sakit, urus semua keperluannya. Paling tidak, ada dari aparat pemerintah setempat datang ke rumah atau kita diperiksa, di-rapid test. Ini sama sekali tidak ada selain kami yang inisiatif sendiri di keluarga untuk isolasi mandiri,” Yuli bercerita.