Kaltim Dapat Cuan dari Bank Dunia karena Keasrian Hutan, Sulsel Kapan?

Makassar, IDN Times - Siapa sangka, keasrian hutan yang baik dan terlindungi bukan saja menciptakan udara sehat dan sejuk, tapi juga bisa menjadi nilai ekonomi bagi pendapatan daerah. Seperti Kalimantan Timur (Kaltim) yang baru-baru ini memperoleh pembayaran advance payment sebesar USD 20,9 juta atau setara Rp 320 miliar dari Bank Dunia.
Provinsi Kaltim memperoleh pembayaran advance payment, karena dinilai telah berkompensasi dalam hal penurunan emisi karbon dunia sebesar 30 juta ton C02e. Totalnya sesuai rencana, selain pembayaran advance payment, Bank Dunia juga akan membayar Kaltim sebesar USD 110 juta atau Rp1,65 triliun dari carbon trading.
Pertanyaannya, apakah daerah lain bisa seperti Kaltim? Bagaimana dengan Sulawesi Selatan (Sulsel) yang bertetangga dengan Kaltim. Apakah akan mendapat cuan dari Bank Dunia untuk program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan melalui Program Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund (FCPF-CF) yang dikelola Bank Dunia.
1. KPA: hutan lindung di Sulsel dibuka untuk pertambangan

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan menilai, kondisi hutan di beberapa daerah di Sulsel dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan dalam peruntukannya. Seperti hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan suaka dan hutan wisata itu kemudian beralih fungsi setelah adanya izin dari pihak Pemerintah.
"Pasca ada perubahan penunjukan kawasan hutan berdasarkan SK penunjukan 362 tahun 2019 dan ada SK yang baru disahkan 2022, itu kawasan hutan lindung berubah menjadi kawasan konsesi-konsesi, termasuk kawasan konsesi pertambangan, itu situasinya di Sulsel," ungkap koordinator wilayah KPA Sulsel, Rizki Anggraini Arimbi, Sabtu (14/1/2023).
KPA mencatat, kawasan hutan di Sulsel berdasarkan SK Penunjukan Nomor 362/Menlhk/PLA.0/5/2019 ada 6 catatan perubahan kawasan hutan seperti, perubahan RTRW Provinsi Sulsel terdapat perubahan kawasan hutan suaka alam dan wisata darat seluas 258 Hektar di Luwu Timur yang sebelumnya ditunjuk berdasarkan SK 362/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2019.
Lalu, kawasan hutan lindung hasil penunjukan SK 362 di Kabupaten Bulukumba, tepatnya di Kecamatan Bonto Bahari, Desa Bira dibuka menjadi lokasi wisata dan penginapan. Kemudian kawasan hutan produksi, hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Kabupaten Bone dan Kabupaten Luwu itu dibuka untuk izin usaha pertambangan.
Lanjut ke kawasan hutan produksi, hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan suaka alam dan wisata darat hasil penunjukan SK 362 di kabupaten Luwu Timur mayoritas diberikan untu izin usaha pertambangaa. Dan kawasan hutan produksi, hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Luwu Utara, Kecamatan Seko dan Rampi untu izin usaha pertambangan.
2. KPA sebut perhutanan sosial untuk kelompok elite

Menjadi perhatian aktivis KPA Sulsel kata Rizki Arimbi, juga dalam program perhutanan sosial dari Pemerintah pusat di era Joko Widodo (Jokowi) yang terus dimanfaatkan dan digunakan oleh kelompok-kelompok elite.
"Jadi memang ada kelompok elit yang membentuk kelompok tani tertentu untuk mendapatkan konsesi-konsesi di kawasan hutan. Bahkan kawasan hutan lindung yang seharusnya dalam kehutanan sosial itu tidak ditebang atau ada dalam perubahan tutupan, karena untuk skema perhutanan sosial di kawasan hutan lindung itu yang bisa digunakan adalah jasa lingkungannya. Tapi fakta di lapangan jauh berbeda," ungkap Rizki kepada IDN Times Sulsel saat dikonfirmasi.
"Makanya, ketika kawasan hutan untuk investasi itu dia sangat cepat berubah peruntukannya. Sampai hari ini KPA mengkritisi bahwa reforma agraria yang 4,1 juta hektar itu tidak berjalan, tapi justru investasi perubahan kawasan hutan untuk korporasi itu sangat cepat, jadi seperti itu yang terjadi di lapangan secara kebijakan," sambungnya.
3. Pembabatan hutan jauh lebih besar dari program penanaman pohon

Bahkan KPA Sulsel yakin, laju program pemerintah untuk penanaman pohon itu tidak berbading lurus dengan banyaknya kawasan hutan lindung yang dibuka untuk investasi. Misalnya, penanaman pohon mangrove di wilayah pesisir itu tidak seberapa dengan terbukanya wilayah-wilayah pesisir untuk sebuah izin reklamasi.
"Misalnya di wilayah Gowa, seperti penutupan hutan di kawasan gunung Bawakaraeng ada penanaman pohon tapi kemudian ternyata pembukaan untuk kawasan wisata itu jauh lebih besar dan lebih masif. Itu yang kita lihat bahwa banyak sekali program penanaman pohon itu tidak lebih dari sebuah program semata," tambah Rizki.