Nelayan Pulau Kodingareng menolak kapal penambang pasir beroperasi. Dok. Walhi Sulsel
Jumat 24 Juli : Dalam konferensi pers via daring bersama Koalisi Selamatkan Laut Indonesia, cerita tentang derita warga Kodingareng mulai mencuat ke publik. Zakiah, salah satu istri nelayan, menyebut kapal pengeruk pasir sudah beroperasi sejak Maret 2020.
Ia dan warga lain mengaku tak mendapat informasi dari pemerintah tentang aktivitas tambang pasir laut. "Supaya warga di sini juga bisa dikasih pertimbangan, pendapat. Karena kami di sini hidup dari melaut," ujar Zakiah.
Dampak dari aktivitas pertambangan? Warga mengaku sulit mencari ikan, sedangkan air laut jadi keruh. "Bagaimana mau dapat ikan kalau laut airnya coklat. Terumbu karang hancur," kata Zakiah kala itu.
Unjuk rasa sempat dilakukan di tengah laut. Upaya pengadangan pun ditempuh. Namun tetap tak ada dari pihak penambang pasir yang mau menemui mereka. Warga bahkan sempat berunjuk rasa di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, pada Kamis 23 Juli. Tapi warga gagal bertemu Gubernur Nurdin Abdullah.
Ketua Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Indonesia, Merah Johansyah mengungkap, PT Boskalis, perusahaan penambang asal Belanda, melanggar kesepakatan bersama tanggal 8 Juli 2020 tentang penghentian aktivitas di wilayah Perairan Sangkarrang, Kodingareng. Ini adalah kesepakatan menurut hasil dialog virtual bersama Duta Besar Belanda, Lambert Grinjs. Namun, mereka kembali beroperasi secara diam-diam pada 16 Juli.
Corporate Secretary PT Pelindo IV (Persero) Dwi Rahmad Toto pernah mengklaim bahwa aktivitas penambangan pasir untuk Makassar New Port sudah sesuai ketentuan. Ini sesuai Peraturan Daerah Sulsel Nomor 2 Tahun 2019, dengan lokasi lebih dari seribu hektare.
Dwi mengklaim aktivitas tambang takkan berdampak parah, atau sampai menenggelamkan pulau. Kata dia, lokasi penambangan pasir sangat luas. Jumlah depositnya mencapai lebih dari 200 juta meter kubik pasir. Pasir yang disedot pun maksimal hanya pada kedalaman 2 meter saja.