Dokumentasi - Desakan pengesahan RUU PKS dalam aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta pada 30 September 2019. (IDN Times/Pito Agustin Rudiana)
Mira Amin, dari LBH Makassar, sepakat bahwa pendampingan psikolog juga sama pentingnya dalam upaya mencari keadilan. Tapi hal tersebut kembali kepada korban. Pihak LBH Makassar sendiri bahkan siap dengan salah satu opsi atau keduanya, tergantung hasil asesmen awal.
Berbicara dalam lingkup lokal, Mira mengakui peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Makassar selama 2020. Ada 23 pengaduan diterima LBH Makassar, dan salah satunya dilakukan di ranah privat seperti dalam rumah dan orang terdekat seperti pasangan atau keluarga.
Meski begitu, penanganan pelecehan seksual di ranah privat diakui Mira punya banyak hambatan. Salah satunya saat berhadapan dengan perkara nama baik keluarga, yang ironisnya tak dipikirkan oleh pelaku saat melakukan aksi bejat kepada darah dagingnya sendiri.
"Di kasus terakhir, ada pelaporan pencabulan ayah kandung. Kita agak kesulitan menyelesaikan kasusnya jika berhadapan dengan keluarga inti," cerita Mira.
"Karena keluarga korban akan berupaya si korban tidak menceritakan perilaku ini ke siapa pun atau melanjutkan pelaporan dan diselesaikan ke pengadilan. Karena stigma soal aib dan membawa malu untuk keluarga itu harus diterima baik si korban atau keluarga," lanjutnya.
"Bahkan pernah ada kejadian secara sembunyi-sembunyi ibu korban itu melakukan perdamaian dengan ayah korban dan memanipulasi korban untuk tidak lagi melanjutkan laporan ke LBH Makassar dan mencabut kuasa secara sepihak," ungkapnya.
Dengan fakta-fakta tersebut, Mira berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa disahkan oleh DPR-RI. Alasan jika pembahasannya mandek karena alot dan penuh pro-kontra tentu berbanding terbalik dengan UU Cipta Kerja yang ditentang rakyat tapi tetap disahkan.
"Mungkin negara tidak melihat UU PKS tidak memberi keuntungan bagi negara, berbeda dengan Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Minerba," sindirnya.