Pemandangan pegunungan karst di Rammang-Rammang, Desa Salenrang, Maros, Sulawesi Selatan. IDN Times/Indra Abriyanto/bt
Di balik narasi besar tentang "Zero Emission" dan "Green Tourism", ada kenyataan dapur yang harus tetap mengebul bagi para pengemudi perahu. Idealisme lingkungan seringkali rontok ketika berhadapan dengan perut. Namun di Rammang-Rammang, kalkulator Sunardi menunjukkan angka yang menggembirakan.
Peralihan ke energi listrik bukan hanya menyelamatkan telinga wisatawan, tapi juga menyelamatkan dompet Sunardi.
Mari kita hitung. Untuk satu kali perjalanan pergi-pulang menyusuri lorong karst itu, motor listrik berdaya 3 kilowatt miliknya hanya menyedot daya sebesar 2 kWh.
"Kurang lebih Rp3 ribu satu kali charger penuh baterai. Itu cukup untuk pulang-balik," ungkap Sunardi.
Tiga ribu perak. Bandingkan dengan kebiasan lama saat masih menggunakan mesin konvensional. Butuh setidaknya satu liter bensin untuk rute yang sama. Di desa yang jauh dari SPBU, bensin adalah barang mewah yang harus dibeli di pengecer.
"Kalau konvensional, kita pakai eceran Rp20 ribu satu botol, biasa kita pakai satu kali sudah habis," keluh Sunardi, mengingat masa-masa boros itu. Belum lagi fluktuasi harga bensin yang kadang mencekik saat pasokan langka.
Selisihnya mencoloj. Dari Rp20.000 menjadi Rp3.000. Penghematan itu adalah selisih laba bersih yang bisa dibawa pulang ke rumah.
"Kalau saya beli Rp50 ribu token listrik, bisa saya pakai satu bulan buat isi baterai perahu," lanjutnya. "Uang yang diirit bisa dipakai untuk kebutuhan lain."
Hitungan keuntungan itu belum berhenti di bahan bakar. Mesin listrik adalah mesin yang "tahan banting" dan minim manja. Tidak ada karburator yang tersumbat, tidak ada busi yang mati, tidak ada oli yang harus diganti rutin secara berkala. Sunardi tak perlu lagi berlumuran minyak hitam.
"Perawatan hanya baterai yang perlu diganti karena usia pemakaian, setelah kira-kira empat atau lima tahun," tambahnya.
Infrastruktur pendukung pun sudah disiapkan. Di dermaga, PLN telah membangun Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) dengan daya 7.700 Volt Ampere (VA). Stasiun ini bahkan ditenagai oleh panel surya, menyempurnakan siklus energi bersih di kawasan itu.
"Kurang lebih tiga jam," jawab Sunardi saat ditanya durasi pengisian daya. Waktu tiga jam itu bisa ia gunakan untuk beristirahat, mengobrol dengan sesama pengemudi, atau sekadar menikmati kopi, sementara perahunya "makan" energi matahari yang disimpan dalam jaringan listrik.
Tentu saja, tidak ada teknologi yang sempurna tanpa celah. Iwan Dento, aktivis lingkungan yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menjaga Rammang-Rammang dari ancaman tambang marmer dan eksploitasi, memandang fenomena ini dengan kacamata realistis.
Ia mengakui, kehadiran jolloro listrik adalah angin segar. Ini adalah langkah maju dalam memuliakan alam.
"Secara ekologi, pasti jauh lebih baik. Pertama dari suara, kemudian dari penggunaan bahan bakar," ujar Dento.
Namun, ia juga mengingatkan tentang tantangan di lapangan. Wisatawan tidak semuanya seperti Feri yang kontemplatif. Ada kalanya tamu datang dengan jadwal padat, mengejar waktu, ingin serba cepat. Di sinilah keterbatasan teknologi ini diuji.
"Cuma kecepatannya juga terbatas. Kemudian kapasitasnya juga. Misalnya ada tamu yang cenderung buru-buru, di situ tantangannya,” kata Dento.
Tetapi mungkin, justru di situlah poin utamanya. Rammang-Rammang mengajarkan manusia untuk melambat. Senyapnya Sungai Pute adalah cara alam memaksa manusia untuk berhenti berlari dan mulai memperhatikan.
"Jadi kedatangan di Rammang-Rammang bukan sekadar menikmati wisatanya, tapi mendapatkan informasi yang bisa dibawa pulang. Apa itu Rammang-Rammang, bagaimana sejarah dan fungsi karst," ucap Sunardi.
Listrik telah memberi Sunardi kesempatan untuk bercerita kepada pengunjung tanpa harus berteriak melawan deru mesin. Listrik telah memberinya ruang untuk mendengar pertanyaan para tamu, membangun percakapan tentang peradaban purba yang jadi latar.
Geopark Maros-Pangkep bukan sekadar deretan batu mati. Ia adalah rumah bagi 1.437 spesies flora dan fauna. Ia adalah rumah bagi 153 spesies endemik yang tak ada di tempat lain di muka bumi. Dan yang paling penting, ia adalah rumah bagi 52 spesies yang dilindungi dan terancam punah.
Ketika Feri dan rombongannya melangkah turun dari perahu, menjejakkan kaki di tanah yang sama yang pernah dipijak manusia prasejarah puluhan ribu tahun lalu, mereka tidak meninggalkan jejak karbon. Mereka tidak meninggalkan asap. Mereka hanya membawa pulang kenangan dan foto-foto indah yang diambil dari jarak dekat tanpa mengganggu satwa.
Di Rammang-Rammang, revolusi energi tidak meledak dengan suara gempita. Ia hadir dengan hening dan memberi harapan baru bagi kelangsungan hidup semesta. Di sini, di antara pilar-pilar batu yang menjulang ke langit, manusia belajar untuk bertamu dengan sopan di rumah alam