Hikmawati Ribi, Dosen Hukum Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar. (IDN Times/Istimewa)
Meskipun pemerintah telah mengatur ketat peredaran produk kecantikan, masih banyak produk ilegal yang beredar di pasaran, terutama melalui e-commerce dan media sosial. Hikmawati Ribi, Dosen Hukum Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar, menjelaskan bahwa ada berbagai regulasi yang mengatur keamanan produk kosmetik, termasuk Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan BPOM tentang Persyaratan Teknis Kosmetika.
Beberapa peraturan tersebut yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur standar dan keamanan produk kosmetik; UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mewajibkan produsen memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan; Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2023 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika yang mencakup izin edar, daftar bahan yang dilarang, serta proses produksi kosmetik; serta Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1176/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika yang mewajibkan pendaftaran produk sebelum beredar di pasaran.
Namun, meskipun regulasi telah ada, pengawasan masih menghadapi tantangan besar, terutama dengan maraknya peredaran skincare ilegal melalui e-commerce dan media sosial. Padahal konsekuensi hukum bagi individu atau perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan skincare ilegal cukup berat.
Pelaku yang terbukti memproduksi atau mendistribusikan produk berbahaya dapat dikenakan pidana hingga 15 tahun penjara atau denda maksimal Rp1,5 miliar sesuai UU Kesehatan. Selain itu, BPOM dapat mencabut izin usaha dan menyita produk ilegal, serta denda administratif.
"Dari sisi perdata, konsumen yang mengalami kerugian berhak mengajukan tuntutan ganti rugi berdasarkan UU Perlindungan Konsumen," jelas Hikmawati.
Bagi konsumen yang mengalami dampak negatif akibat produk ilegal, ada beberapa langkah hukum yang bisa ditempuh. Langkah tersebut yaitu melaporkan ke BPOM atau kepolisian jika mengalami efek samping akibat produk ilegal, mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen untuk menuntut ganti rugi, serta menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Hikmawati menjelaskan selama ini pengawasan industri skincare berada di bawah naungan BPOM melalui berbagai mekanisme, seperti notifikasi kosmetik, inspeksi berkala, uji laboratorium, serta tindakan hukum terhadap pelanggaran. Namun, menurutnya, efektivitas penegakan hukum masih menghadapi tantangan besar.
Tantangan besarnya, terutama dalam mengawasi distribusi produk ilegal yang banyak beredar melalui e-commerce dan media sosial. Perdagangan online sulit diawasi sepenuhnya. Belum lagi, kesadaran masyarakat atau konsumen tentang bahaya produk ilegal juga masih kurang. Kemudian, pelaku usaha yang mencari celah regulasi, seperti menggunakan jasa reseller tanpa izin resmi.
"Penegakan hukum telah berjalan, tetapi masih terdapat celah dalam pengawasan, terutama terhadap produk yang dijual secara online. BPOM dan kepolisian sering melakukan razia serta tindakan hukum, namun produk ilegal tetap beredar luas karena tingginya permintaan pasar," katanya.
Karena itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, BPOM, kepolisian, serta e-commerce untuk menekan peredaran skincare ilegal. Menurutnya, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap marketplace dan media sosial, serta memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai risiko penggunaan produk ilegal.
"Kolaborasi antara BPOM, kepolisian, dan platform e-commerce untuk memblokir penjualan produk ilegal. Kemudian, mendorong pelaku usaha agar mengurus izin edar BPOM guna menjamin keamanan produk yang dipasarkan," katanya.