Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) KIBA Bantaeng memblokade gerbang PT Huadi Nickel Alloy, Jumat (18/7/2025)/Istimewa
Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) KIBA Bantaeng memblokade gerbang PT Huadi Nickel Alloy, Jumat (18/7/2025)/Istimewa

Makassar, IDN Times - Tekanan bertubi-tubi tak membuat buruh di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) surut untuk menuntut keadilan. Ribuan buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) telah melewati rangkaian perundingan resmi demi menuntut hak yang tak kunjung dibayar PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI).

Sengkarut bermula sejak Desember 2024, ketika gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) bergulir di tiga anak usaha PT Huadi. Sebanyak 81 buruh dipecat bertahap hingga April 2025. Hingga kini, sudah lebih dari 1.200 buruh dirumahkan tanpa kejelasan nasib. 

Buruh tak tinggal diam. Catatan SBIPE menunjukkan, sejak 26 Maret 2025, serikat sudah melayangkan dua surat resmi ke manajemen PT Huadi. Isinya penolakan PHK sepihak dan permintaan perundingan untuk memulihkan hak pekerja. Surat itu diabaikan. Tak ada jawaban, apalagi ruang dialog.

"Upaya pertama dilakukan dengan melayangkan dua surat resmi kepada manajemen perusahaan, menyampaikan keberatan atas PHK dan mengajukan permintaan untuk berunding. Namun, surat tersebut diabaikan tanpa balasan, " kata Abdul Azis Dumpa, selaku Direktur LBH Makassar sekaligus kuasa hukum buruh melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (19/7/2025). 

1. Tripartit pertama berlanjut ke jalur bipartit

Ilustrasi buruh/pekerja. (IDN Times/Aditya Pratama)

SBIPE lantas mengajukan permohonan mediasi ke Disnaker Kabupaten Bantaeng pada 7 April 2025. Mediasi formal di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker Kabupaten Bantaeng pun ditempuh. Tripartit pertama digelar 15 April 2025. Kesepakatannya yaitu perundingan akan dilanjutkan lewat jalur bipartit antara perusahaan dan perwakilan buruh atas saran dari mediator ketenagakerjaan.

Namun di meja bipartit pada 30 April 2025, perusahaan menolak usul serikat agar 6 dari 25 buruh yang di-PHK dipekerjakan kembali. Pembahasan pun bergeser ke persoalan upah lembur yang tak dibayar.

Saat itu, pihak perusahaan menjanjikan akan menyerahkan data penting seperti slip gaji, dan absensi(pinjer) sebagai dasar perhitungan. SBIPE menuntut janji itu tapi tetap tidak ditepati. 

Pada pertemuan lanjutan, 7 Mei 2025, perusahaan hanya bersedia membayar 3 jam lembur per hari, padahal buruh bekerja 4 jam lebih setiap hari di luar jam pokok. Buruh menolak, karena dalih satu jam istirahat tak pernah nyata di lapangan.

"Tidak pernah ada perintah istirahat, baik secara lisan maupun tertulis, yang diberikan kepada buruh. Karena itu, perundingan kembali menemui jalan buntu," kata Azis. 

Terkait permintaan dokumen slip gaji dan data absensi, SBIPE kembali menegaskan agar perusahaan memenuhi janjinya untuk menyiapkan dokumen tersebut. Namun, perusahaan merespons dengan meminta SBIPE menyampaikan permintaan itu secara resmi melalui surat. 

"Namun hingga kini, surat permintaan yang telah dilayangkan tak pernah direspons, apalagi dipenuhi," kata Azis.

2. Tripartit kedua berakhir tanpa hasil

Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) Bantaeng berunjuk rasa terkait pemutusan hubungan kerja sepihak oleh PT. Huadi Nickel Alloy. (Dok. LBH Makassar)

Permintaan dokumen kembali dilayangkan serikat secara resmi. Hasilnya sama yakni diabaikan. Tripartit kedua kembali digelar 21 Mei 2025, tapi tak menghasilkan apa-apa selain janji. Kasus ini kemudian diarahkan untuk dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). 

Padahal pada 27 Mei 2025, Pengawas Ketenagakerjaan Wilayah Bantaeng sudah menerbitkan penetapan resmi yaitu perusahaan wajib membayar kekurangan upah lembur kepada 20 buruh korban PHK. Lagi-lagi, penetapan itu tak dijalankan.

"Pengawas Ketenagakerjaan telah mengeluarkan penetapan resmi yang menyatakan bahwa PT Huadi memiliki kewajiban membayar kekurangan upah lembur kepada 20 buruh yang terkena PHK. Sayangnya, putusan tersebut tidak dijalankan oleh perusahaan," kata Azis. 

Untuk menindaklanjuti penetapan tersebut, serikat kembali mengirim surat ke perusahaan dan Disnaker pada 13 dan 23 Juni 2025, meminta agar proses mediasi dilanjutkan dan hak buruh segera dibayarkan. Namun, respons dari perusahaan kembali nihil.

3. Disnaker minta PT Huadi penuhi kewajiban saat tripartit ketiga

Ilustrasi upah (IDN Times/Arief Rahmat)

Tripartit ketiga dilangsungkan pada 3 Juli 2025. Dalam pertemuan itu, pihak Disnaker secara tegas meminta perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Perusahaan kembali meminta waktu 7 hari untuk menyiapkan jawaban.

Perundingan terakhir, 10 Juli 2025, lagi-lagi nihil. Padahal serikat sudah memberi ruang lebar untuk kompromi. Jalur formal, kata Azis, sudah ditempuh habis-habisan. Namun di lapangan, tak satu pun komitmen perusahaan terbukti dijalankan.

"Perusahaan hanya mengirimkan tim pengacara yang mengaku belum mengetahui detail kasus, karena baru ditunjuk satu hari sebelumnya. Ia meminta waktu tambahan tiga hari untuk mempelajari dokumen-dokumen terkait," kata Azis. 

Karena jalur resmi macet, buruh beralih menahan tenaga mereka dengan blokade gerbang utama PT Huadi sejak 13 Juli 2025. Mereka juga telah menggelar aksi di depan kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Sulsel serta DPRD Sulsel pada 14 Juli 2025.

"Buruh tidak sedang menghalangi ekspor perusahaan. Mereka hanya menahan tenaga mereka yang melekat pada hasil produksi perusahaan, agar tidak dijual sebelum hak-hak mereka dipenuhi. Ini upaya buruh untuk mendapatkan keadilan," kata Azis.

Editorial Team