Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
1000998836.jpg
Ilustrasi beras di Pasar Pabaeng-baeng Makassar, Kamis (17/7/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Intinya sih...

  • Pedagang beras harus pintar merayu pelanggan

  • Warung nasi atur porsi untuk jaga pelanggan

  • Bertahan dengan pelanggan setia

Makassar, IDN Times - Karung-karung itu masih tersusun rapi di pinggir kios Hafid, seperti biasanya. Tapi sejak awal Juli 2025, angka-angka yang tertera di papan harga tak lagi seperti dulu.

Hafid, pedagang beras di Pasar Pabaeng-baeng, Makassar, telah melewati lebih dari satu dekade hidupnya menjual beras. Ia tahu betul kapan harga mulai bergerak. Dan kali ini, ia merasakannya datang perlahan tapi pasti. Harga beras medium yang dulu dijual Rp12 ribu per kilogram kini menembus angka Rp13 ribu. Yang premium bahkan sudah menyentuh Rp15 ribu.

Ia tahu, pembeli tak selalu tahu cerita di balik kenaikan harga. "Kadang orang kira kita yang sengaja naikkan harga," ucapnya, sambil menepuk karung yang mulai menipis. "Padahal beli dari distributor juga sudah mahal. Masa kita jual sama dengan harga beli?."

Hafid tak sedang mencari pembenaran. Ia hanya ingin didengar. Sebab selisih Rp500 hingga seribu rupiah dari setiap kilogram bukanlah kemewahan, itu napas tipis untuk bisa bertahan, membayar sewa kios, dan membawa pulang sedikit untuk keluarganya.

Pemerintah memang telah menetapkan harga patokan untuk menyerap beras dari petani. Tapi di pasar, antara karung-karung beras, uang receh, dan senyum pelanggan yang mulai ragu, Hafid tahu: yang paling duluan harus menyesuaikan bukanlah kebijakan, tapi dirinya sendiri.

1. Pedagang beras harus pintar merayu pelanggan

Ilustrasi Beras (Dok.IDN Times)

Untung yang dimaksud Hafid pun terbilang tipis. Dia menyebut pedagang pasar rata-rata hanya menambah Rp500-1.000 per kilogram dari harga beli. Namun, selisih kecil itu kerap memicu salah paham dengan pelanggan setia.

"Pernah cuma beda Rp500 saja, pembeli sudah bilang mahal sekali. Padahal kalau dihitung, untung segitu sudah banyak sekali bagi pedagang kecil. Kita harus pintar-pintar merayu pembeli supaya jangan lari," tuturnya.

2. Warung nasi atur porsi untuk jaga pelanggan

Warung nasi di Jalan Prof. Abdurrahman Basalamah, Makassar, Kamis (17/7/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Jika Hafid menjaga kepercayaan di antara karung-karung beras di pasar, maka Anto menjaga keseimbangan rasa dan harga di warung prasmanannya di Jalan Prof Abduraahman Basalamah Makassar.

Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, Anto dan istrinya sudah sibuk menanak 10 kilogram beras. Jumlah itu cukup untuk memberi makan puluhan orang pelanggan beragam: mahasiswa yang berjibaku dengan tugas akhir, pegawai kantoran yang buru-buru mengejar absen, hingga tukang ojek yang singgah sebentar untuk makan hemat tapi kenyang.

Namun, saat harga beras naik dari Rp12 ribu ke Rp13 ribu per kilogram, Anto tahu hitungan harian di warungnya tak lagi bisa asal kira-kira. Tapi ia juga tahu, menaikkan harga bukan solusi.
"Orang di sini ambil nasi sendiri. Kalau kita naikkan harga, nanti banyak yang protes," katanya, sambil menata lauk-pauk di balik kaca etalase. "Jadi ya kita atur saja porsinya. Kalau yang ambil 2 centong, kita kasih harga Rp5.000. Kalau 3 centong, jadi Rp7.000."

Anto bukan tak ingin untung. Tapi bagi dia, loyalitas pembeli jauh lebih berharga daripada selisih seribu perak. Saat Sabtu datang dan pelanggan berkurang, dia pun tak memaksakan diri. Masakan dikurangi, beras ditakar lebih hemat.

Di dapur kecil warungnya, Anto belajar seni bertahan: menyiasati harga yang tak menentu, tanpa mengorbankan kehangatan makan siang yang selalu ditunggu pelanggan tetapnya.

3. Bertahan dengan pelanggan setia

Warung nasi di Jalan Prof. Abdurrahman Basalamah, Makassar, Kamis (17/7/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Menurut Anto, warung prasmanan tidak hanya bergantung pada beras. Sayuran dan lauk lain juga rawan fluktuasi harga. Dia mencontohkan harga bayam bisa melonjak jadi Rp15.000 per ikat di pasar. Mau tidak mau, pedagang warung harus rajin berkeliling pasar untuk mendapat harga terbaik.

Soal untung rugi, Anto mengaku penghasilan warungnya kini cenderung stagnan. Kadang tidak untung banyak, kadang hanya cukup menutup modal belanja. Namun baginya, mempertahankan pelanggan jauh lebih penting dibanding menaikkan harga secara tiba-tiba.

"Kalau kita naikkan harga makan, orang bisa cari warung lain. Tapi kalau kita tahan, pelanggan tetap datang karena mereka butuh makan juga," ucap Anto.

Di balik dapur sederhana dan panci nasi yang mengepul sejak pagi, para pemilik warung makan kecil di Makassar diam-diam memutar akal. Mereka berharap pemerintah bisa menstabilkan harga beras agar tidak membebani pedagang kecil dan konsumen di ujung meja makan.

"Kalau bisa diturunkan lagi, bagus. Biar warung juga bisa bertahan. Kalau mahal terus, kasihan semua," kata Anto.

Editorial Team