Makassar, IDN Times - Karung-karung itu masih tersusun rapi di pinggir kios Hafid, seperti biasanya. Tapi sejak awal Juli 2025, angka-angka yang tertera di papan harga tak lagi seperti dulu.
Hafid, pedagang beras di Pasar Pabaeng-baeng, Makassar, telah melewati lebih dari satu dekade hidupnya menjual beras. Ia tahu betul kapan harga mulai bergerak. Dan kali ini, ia merasakannya datang perlahan tapi pasti. Harga beras medium yang dulu dijual Rp12 ribu per kilogram kini menembus angka Rp13 ribu. Yang premium bahkan sudah menyentuh Rp15 ribu.
Ia tahu, pembeli tak selalu tahu cerita di balik kenaikan harga. "Kadang orang kira kita yang sengaja naikkan harga," ucapnya, sambil menepuk karung yang mulai menipis. "Padahal beli dari distributor juga sudah mahal. Masa kita jual sama dengan harga beli?."
Hafid tak sedang mencari pembenaran. Ia hanya ingin didengar. Sebab selisih Rp500 hingga seribu rupiah dari setiap kilogram bukanlah kemewahan, itu napas tipis untuk bisa bertahan, membayar sewa kios, dan membawa pulang sedikit untuk keluarganya.
Pemerintah memang telah menetapkan harga patokan untuk menyerap beras dari petani. Tapi di pasar, antara karung-karung beras, uang receh, dan senyum pelanggan yang mulai ragu, Hafid tahu: yang paling duluan harus menyesuaikan bukanlah kebijakan, tapi dirinya sendiri.