Guma, senjata tradisional Sulawesi Tengah yang digunakan untuk berperang/IDN Times/Istimewa
Sebagai produk budaya asli Suku Kaili, kelestarian Guma terancam karena tidak ada lagi penempa khusus untuk membuat Guma di Sulawesi Tengah. Hal itu berbeda dengan kondisi di beberapa tempat lain di nusantara, seperti pembuat keris di Jawa atau Badik di Sulawesi Selatan.
Sekretaris Komunitas Pusaka Tadulako, Rifai Yarujampu mengatakan di Sulawesi Tengah tidak ada yang bisa menempah besi atau bilah guma secara tradisional seperti zaman dulu. Hal ini diakui berdasarkan penelusuran selama tiga tahun.
Yang ada saat ini, kata Rifai, hanya pengrajin gagang Guma yang banyak ditemukan di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Tentunya dengan bahan yang sama yaitu tanduk kerbau.
“Kan teknik membuat pusaka dengan parang biasa itu berbeda. Tekniknya pusaka yaitu melipat besi sampai 40 kali lipatan dengan berbagai jenis bahan besi yang berbeda,” jelas Rifai.
Berdasarkan catatan sejarah, jelas Rifai, memang ada penempa besi khusus pembuat Guma pada tahun 1920-an di wilayah Kulawi dan Pamona.
Di Pamona, pusaka ini harus dibuat orang khusus karena ada beberapa ritual yang harus dijalankan. Rituanya dimulai dari pencarian besi dalam tanah dengan memotong seekor ayam. Usus ayan akan dibacakan mantra dan dari ritual ini akan diketahui berapa dalam tanah yang akan digali untuk mengambil biji besinya.
“Bukunya saya baca yang diterbitkan Museum Sulawesi Tengah dengan narasumber ketua ada di Poso. Sayangnya cara ini tidak terwarisi lagi,” ucap Rifai.
Menurut Rifai, Guma ini kemungkinan bisa dibuat di daerah lain, namun modelnya akan berbeda karena teknik pembuatannya yang tidak sama lagi. Belum lagi model gagangnya hampir tidak ada yang sesempurna yang dibuat pengrajin pada zaman dulu.
“Guma bisa dimiliki siapa saja tetapi ada perbedaan pada gagang dan bilahnya. Pusaka yang dipegang orang-orang tertentu berketurunan raja atau bangsawan berbeda dengan yang dipegang masyarakat biasa,” tambahnya.