Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kebutuhan IDN Times (4) (1).jpg
Buku "Glosari Memorabilia Skena Musik Makassar" yang diterbitkan oleh Kedai Buku Jenny pada Juli 2025. (Dok. Kedai Buku Jenny)

Intinya sih...

  • Format glosarium dipilih untuk memuat banyak entri tempat di Makassar.

  • Total ada 140 entri tempat dalam buku ini, tersebar dari Mariso hingga Biringkanaya.

  • Terma "scene" dalam buku ini dipakai sebab dianggap lebih akurat secara kultural.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Makassar, IDN Times - Makassar adalah kota dengan denyut kreativitas yang tak pernah surut. Dan semangatnya bisa dibaca dalam buku terbaru berjudul Glosari Memorabilia Skena Musik Makassar. Bukan sekadar daftar nama, buku ini adalah upaya serius merekam jejak ruang dan tempat yang menjadi titik tolak perkembangan musik populer di seantero Kota Daeng dari dekade 1990-an hingga sebelum pandemi COVID-19.

Proyek ambisius ini diinisiasi oleh Kedai Buku Jenny (KBJ), salah satu perpustakaan dan ruang inisiasi kolektif di Makassar. Pada sela acara puncak peluncuran buku sekaligus rangkaian terakhir Memorabilia Trip yang berlangsung di Ja & Joy Nipah Mall pada 19 Juli 2025, salah satu inisiator KBJ yakni Zulkhair Burhan berbagi kisah dan motivasi di balik penggarapan buku ini.

Ide Glosari Memorabilia bermula dari kesadaran pahit akan kerapuhan memori kolektif. Ia mengungkap, sejak KBJ mulai bersentuhan dengan skena musik, ia bertemu banyak musisi era 1990-an. Tapi, banyak memori penting yang tidak bisa terekam utuh karena para penceritanya telah berpulang.

"Sehingga kepikiran, pokoknya harus segera ini (dilakukan). Sebab kalau orang tersebut meninggal, ceritanya juga pergi," ungkap pria yang akrab disapa Bob itu saat diwawancarai IDN Times, menekankan pentingnya upaya dokumentasi.

1. Format glosarium dipilih sebagai cara agar buku ini memuat banyak entri tempat di Makassar

Zulkhair Burhan, salah satu inisiator Kedai Buku Jenny, dalam peluncuran buku "Glosari Memorabilia Skena Musik Makassar" pada 19 Juli 2025. (Dok. Kedai Buku Jenny)

Dari berbagai pertemuan, satu hal yang selalu banyak disebutkan adalah tempat. Ternyata, catatan atau dokumentasi spesifik mengenai tempat dan ruang perkembangan musik di Makassar masih sangat minim ditemukan. Padahal tempat-tempat tersebut selalu menjadi titik berangkat musik kota ini. Menyadari hal ini, KBJ memutuskan untuk fokus pada dokumentasi tempat.

Mengapa memilih format glosarium? Awalnya, proyek yang juga didanai oleh Dana Indonesiana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ini membayangkan format buku dengan jumlah tempat sedikit, tapi dengan narasi penjelasan yang panjang. Tapi, ketika melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan para stakeholder, khususnya musisi era 1990-an, ternyata banyak sekali tempat yang disebutkan.

"Ada banyak sekali tempat disebut, yang kayaknya kalau dengan format tempat sedikit tapi narasinya yang panjang, sayang gitu ya itu tempat-tempat itu tidak tercatat," jelas Bob.

Akhirnya, format diubah menjadi glosarium sebab memungkinkan pencatatan informasi singkat tentang setiap tempat Mencakup tahun tempat didirikan, apakah masih ada atau sudah tidak beroperasi, dan aktivitas yang sering dilakukan di sana. Glosarium ini berhasil menghimpun kurang lebih 140 entri tempat yang tersebar di Kecamatan Mariso hingga Biringkanaya. Tapi, buku tersebut diharap menjadi sebuah batu pijakan.

"Yang kita bayangkan, kalau nanti ada proyek berikutnya yang kita bisa uraikan secara lebih naratif," ujarnya sembari siratkan potensi riset lanjutan.

2. Total ada 140 entri tempat dalam buku ini, tersebar dari Mariso hingga Biringkanaya

Peta persebaran tempat yang masuk sebagai entri dalam buku "Glosari Memorabilia Skena Musik Makassar" terbitan Kedai Buku Jenny. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Melalui penelusuran selama 6 bulan, tim penulis dan peneliti menemukan adanya perubahan tren dalam skena musik Makassar. Di awal 1990-an, scene masih didominasi oleh studio musik, dengan para musisi sangat fokus pada peningkatan skill. Menjelang akhir 1990-an, ruang bergeser ke bazaar musik, acara-acraa yang dibikin pemerintah, dan festival musik yang disponsori perusahaan rokok yang fokus menguji skill.

Lalu, mendekati akhir 1990-an, muncul fenomena bengkel studio atau yang kini dikenal sebagai creative hub. Fungsinya yakni sebagai tempat orang bertemu dan berinteraksi tidak lagi hanya soal musik, melainkan melibatkan hal-hal yang lebih luas.

Dalam memetakan 140 entri, tim membagi tempat menjadi dua kategori. Pertama yakni kategori musikal yang terkait proses pra produksi hingga pasca produksi, seperti studio dan toko musik). Kedua adalah non-musikal seperti perpustakaan, museum, dan kampus yang menggelar gigs atau tempat pertemuan, yang muncul dominan pasca-2010. Temuan mengejutkan adalah kategori yang paling banyak tutup atau hilang adalah studio musik. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh digitalisasi.

"Hampir semua orang kini bisa produksian di kamarnya, studio musik kemudian kehilangan pelanggannya. Kami menemukan bahwa yang tutup itu studio-studio musik yang banyak sekali di era awal-awal 1990-an," jelas Bob. Sementara itu, ruang-ruang seperti komunitas dan creative hub yang tumbuh di era 2010-an masih tetap bertahan hingga sekarang.

3. Terma "scene" dalam buku ini dipakai sebab dianggap lebih akurat secara kultural

Linimasa tren skena musik di Kota Makassar sejak dekade 1990-an yang dijelaskan dalam buku "Glosari Memorabilia Skena Musik Makassar" terbitan Kedai Buku Jenny. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Lebih jauh, Bob menjelaskan bahwa proyek ini berpegang pada terminologi scene alih-alih ekosistem. Ekosistem cenderung merujuk pada terminologi industri, sementara scene dianggap lebih akurat secara kultural.

"Scene itu lebih kultural. Contohnya di Makassar itu kayak Lorong Ceria misalnya, orang bertemu, berinteraksi, dan musik jadi medium interaksi tersebut, itu scene," tegas Bob, merujuk pada tempat di Makassar yang disebutnya mirip dengan Gang Potlot yang melahirkan Slank hingga Imanez.

Definisi yang luas ini memungkinkan Glosari Memorabilia untuk tidak hanya mencatat musik populer, tapi juga tempat-tempat yang berkelindan dengan tradisi lokal meski mayoritas konten memang tentang scene populer. Di sisi lain, Bob menyimpulkan bahwa skena musik Makassar "tumbuh organik dan menjadi social capital" tapi masih perlu berkembang.

"Kenapa kita agak susah menuju industri? Padahal infrastruktur dan etosnya ada. Musisi deri era 1990-an berusaha keras menumbuhkan scene, tidak membayangkan industrinya seperti apa," ujarnya.

"Jadi menurutku scene kreatif, tidak hanya lingkup dalam kotanya. Tapi begitu masuk ke level tertentu, butuh treatment. Jadi misalnya bagaimana supaya musisi dapat panggung, berarti ada hal-hal yang perlu dipantaskan. Supaya relate dengan industri, di situ butuh usaha," imbuh sosok yang juga pengajar di Program Studi Hubungan Internasional Universitas Bosowa tersebut.

4. Ada 6 titik entri yang disinggahi dalam rangakaian "Memorabilia Trip", salah satunya Lorong Ceria

Suasana Memorabilia Trip, rangkaian acara pengantar peluncuran buku "Glosari Memorabilia Skena Musik Makassar", yang berlangsung di Lorong Ceria pada 6 Juli 2025. (Dok. Kedai Buku Jenny)

Untuk menyebarluaskan temuan ini, KBJ mengadakan Memorabilia Trip. Rangkaian acara yang berlangsung dari Juni hingga Juli 2025 lalu adalah ruang diseminasi hasil penelitian, yang berupa diskusi dan pertunjukan musik.

Kegiatan yang dirangkaikan dengan diskusi ini dilaksanakan selama enam kali di enam ruang publik berbeda yang juga merupakan entri dalam buku Glosari Memorabilia. Mulai dari Museum Kota Makassar (20 Juni 2025) dengan topik "Dokumentasi Musik Kota dan Siasat Pemajuan Kebudayaan", lalu creative hub SIKU Ruang Terpadu (24 Juni 2025) yang membahas "Musik, Creative Hub dan Kemungkinannya di Makassar".

Turut pula Lorong Ceria yang disinggahi pada 6 Juli 2025, dengan pembicaraan “Musik dan Tumbuhnya Ruang Nongkrong di Makassar.” Mereka kemudian menuju Taman KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan) di tanggal 12 Juli 2025 untuk mengupas "Musik dan Pemanfaatan Ruang Publik di Makassar".

Ruang pendidikan rupanya masih dalam Memorabilia Trip ini. Mereka menyinggahi Universitas Hasanuddin (UNHAS) Kampus Tamalanrea pada 13 Juli 2025, dengan diskusi “Kampus dalam Membentuk Skena Musik Kota.” Terakhir yakni Ja & Joy di area rooftop pusat perbelanjaan Nipah Mall (19 Juli 2025) di mana sejumlah musisi dan pemilik creative hub membicarakan "Makassar dan Jalan Terjal Menuju Industri".

Dalam rangakaian Memorabilia Trip tersebut juga menampilkan beberapa grup musik dan musisi Makassar dari beragam genre. Mulai dari Ruang Baca, Hirah Sanada, HAS, Skin N Blister, Natinson, First Moon, KPJ Makassar, dan Jasmine Risach. Turut pula Mr. Azman, Spasi, Selatan, Kawan Pencerita, Minor Bebas, Arif Daeng Rate serta Surgir.

5. Masih ada harapan disimpan untuk keberlanjutan proyek dokumentasi musik Makassar ini

Sejumlah anggota tim penulis dan peneliti yang terlibat dalam penggarapan buku "Glosari Memorabilia Skena Musik Makassar" terbitan Kedai Buku Jenny. (Dok. Kedai Buku Jenny)

Bob sendiri masih menyimpan dua harapan untuk kelanjutan proyek ini. Pertama, ia membayangkan daftar dalam buku ini menjadi upaya bersama dan dikembangkan menjadi format digital (seperti Wikipedia), di mana orang dapat memasukkan entri tempat sendiri.

Kedua, Bob berharap Glosari Memorabilia dapat menjadi referensi bagi lembaga-lembaga terkait, termasuk pemerintah. Ia ingin buku ini membuktikan bahwa proses berkebudayaan juga terjadi di ruang-ruang kontemporer, bukan hanya dalam konteks tradisional.

"Ketika bicara kebudayaan, fokusnya ke yang tradisional. Tidak ada masalah. Monggo fokus di situ. Tapi ada teman-teman mengerjakan kebudayaan yang lebih kontemporer. Sebab ini sifatnya kontemporer, akan menjadi tradisi juga nanti. Tapi bagaimana memikirkan itu, jadi hal di masa depan," tutupnya.

Editorial Team