Gereja Serukan Penghentian Kekerasan di Papua: Jangan Diam!

- Pemimpin gereja di Tanah Papua menyerukan penghentian kekerasan dan meminta lembaga keagamaan aktif dalam menyuarakan keadilan.
- Pendeta Dr. Socratez Yoman menolak sikap pasif gereja, meminta rakyat Papua pahami akar persoalan konflik Papua.
- Wakil Sekretaris Sinode GKI Tanah Papua, Pdt. Handry W. D Kakiay, menyoroti ironi kekayaan alam Papua yang tidak sebanding dengan kesejahteraan rakyatnya.
Nabire, IDN Times — Para pemimpin gereja di Tanah Papua menyerukan penghentian kekerasan dan meminta seluruh lembaga keagamaan mengambil peran aktif dalam menyuarakan keadilan dan perdamaian bagi masyarakat Papua.
Seruan itu disampaikan dalam forum yang difasilitasi oleh Pokja Agama Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Tengah dan disiarkan ke publik melalui kanal YouTube Jubi TV.
Pendeta Dr. Socratez Yoman dari Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua menekankan bahwa kekerasan sistemik di Papua harus dihentikan dari akarnya.
Ia menolak sikap pasif gereja yang menghitung korban setiap hari, dan meminta seluruh rakyat Papua memahami akar persoalan konflik Papua.
“Kita bukan penghitung korban. Ini tidak baik. Kita harus memotong rantai kekerasan. Negara harus diajak berunding, tapi itu hanya bisa kalau rakyat dari Sorong sampai Merauke mengerti akar persoalan Papua,” ujar Dr. Yoman.
"Gereja Harus Bicara dari Mimbar"

Ia merujuk pada hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyebutkan empat akar konflik utama di Papua: status politik integrasi Papua ke Indonesia, kekerasan negara dan pelanggaran HAM sejak 1965, diskriminasi dan marginalisasi orang asli Papua, serta kegagalan pembangunan di bidang pendidikan.
“Gereja harus bicara dari mimbar, bukan hanya KNPB atau massa aksi yang bicara. Mimbar gereja harus menyuarakan keadilan,” tegasnya.
Ia juga menyindir pemerintah yang dinilainya bagian dari kekerasan, dengan menyebut bahwa gubernur, bupati, dan DPR Papua adalah bagian dari sistem yang bersumpah setia pada NKRI dan tidak berpihak pada rakyat.
Senada dengan itu, Wakil Sekretaris Sinode GKI Tanah Papua, Pdt. Handry W. D Kakiay, juga menegaskan pentingnya peran gereja dalam menolak kekerasan dan ketidakadilan.
Dalam pernyataannya, ia menyoroti ironi kekayaan alam Papua yang tidak sebanding dengan kesejahteraan rakyatnya.
“Papua tanah paling kaya, tapi kami paling miskin. Data Sinode GKI 2024 mencatat angka kemiskinan di Papua mencapai 26,03 persen, tertinggi di Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia di Papua juga paling rendah, hanya 65,3 persen,” ungkapnya.
Ia menyebut bahwa tingginya angka migrasi ke Papua yang mencapai 2,3 juta jiwa sejak tahun 1960-an telah menyebabkan pergeseran dan pengambilalihan hak-hak dasar orang asli Papua.
Selain itu, ia juga menyinggung persoalan kesehatan yang memprihatinkan. “Angka kematian ibu dan anak di Papua termasuk yang tertinggi bersama NTT. Kami sudah sangat tertinggal. Maka gereja tidak boleh diam,” katanya.
Ia menekankan bahwa suara gereja adalah suara kenabian dan harus menjadi garda terdepan dalam membela rakyat.
“Kalau pendeta takut, lebih baik jangan jadi pendeta. Pendeta itu seperti prajurit di medan perang, dia harus di depan membela umatnya,” ujarnya.
Menutup pernyataan, kedua pemimpin gereja menyerukan persatuan seluruh denominasi dan lembaga agama di Papua untuk bersama-sama menegakkan kebenaran dan keadilan.
“Kita tidak boleh hanya bicara, tapi juga ambil langkah nyata. Gereja harus menjadi alat perdamaian di Tanah Papua. Hentikan kekerasan sekarang,” ujar Handry W. D Kakiay, mengutip semangat Deklarasi Papua Tanah Damai yang dicanangkan pada 5 Februari 2003 silam.