Tim SAR gabungan menemukan jasad korban banjir di Kecamatan Suli Barat, Kabupaten Luwu, Selasa (7/5/2024). (Dok. Basarnas Makassar)
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan memberikan penyataan terkait bencana banjir dan longsor yang terjadi di sejumlah kabupaten ini. Berdasarkan analisis WALHI, bencana yang terjadi di sekitar Pegunungan Latimojong ini terjadi karena empat penyebab utama.
Staf Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel, Slamet Riyadi, menjelaskan persoalan bencana ekologis seperti banjir dan longsor bukan hanya dipicu curah hujan. Ada faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya bencana ekologis.
"Rata-rata versi pemerintah curah hujan disalahkan. Kami melihat secara umum itu adalah daya dukung dan daya tampung lingkungan di sekitar kawasan yang terdampak bencana," kata Slamet saat diwawancarai IDN Times, Selasa (7/5/2024).
Berdasarkan satelit pemantau hujan (zoom.earth), WALHI menemukan bahwa daerah sekitar Pegunungan Latimojong (bagian utara Sulawesi Selatan) berdekatan dengan Kabupaten Enrekang, Tana Toraja, Sidrap, Luwu, dan sebagian wilayah Sulawesi Selatan bagian timur (teluk bone) mulai diguyur hujan dengan intensitas yang cukup tinggi yakni kisaran 0,5 hingga 8 mm/h pada tanggal 26 April sampai 3 Mei 2024. Intensitas hujan yang tinggi dan dalam waktu yang lama secara alamiah mengakibatkan volume air dari wilayah pegunungan (hulu) penuh dan mengalir deras ke beberapa anak sungai.
Kemudian, hasil analisis tutupan hutan di lima kabupaten (Luwu, Enrekang, Sidrap, Wajo, dan Soppeng) menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah yang mengalami bencana banjir dan longsor memiliki wilayah tutupan hutan di bawah angka 30 persen. Wilayah DAS terdampak banjir di Kabupaten Luwu yaitu DAS Suso (39,43 persen), DAS Suli (17,73 persen), DAS Mati (5,55 persen), DAS Ponrang (12,53 persen), DAS Temboe (13,57 persen), DAS Paremang (26,16 persen) dan DAS Lamunre (3,81 persen)
Wilayah DAS terdampak banjir di Kabupaten Enrekang yaitu DAS Saddang (17,09 persen). Lalu, wilayah DAS terdampak banjir di Kabupaten Sidrap dan Soppeng yaitu DAS Bila Walanae (14,32 persen).
Kemudian, wilayah DAS terdampak banjir di Kabupaten Wajo yakni DAS Awo (33,41 persen) dan DAS Siwa (67,75 persen). Terkhusus untuk Kabupaten Wajo, meskipun DAS Awo dan Siwa memiliki tutupan hutan di atas angka 30 persen namun aliran sungainya juga terhubung dengan Sungai Belawae (DAS Bila Walanae yang memiliki tutupan hutan di bawah angka 30 persen) sehingga sangat memungkinkan terjadinya luapan air sungai.
Slamet menjelaskan, tutupan hutan 30 persen itu sangat rendah. Padahal tutupan hutan atau vegetasi hutan ini penting untuk mengendalikan air ketika curah hujan sangat tinggi.
Meskipun curah hujannya tinggi tapi tutupan hutannya besar, luas dan lebat maka itu akan mengurangi aliran air dari wilayah hulu masuk ke sungai. Sebaliknya, jika tutupan hutan rendah maka aliran air hujan akan langsung masuk ke badan sungai.
"Kalau badan-badan sungai sudah full, maka dia akan melebar di kanan dan kiri sungai. Itulah yang terjadi banjir," kata Slamet.
Dengan kata lain, ini merupakan deforestasi atau hilangnya tutupan hutan menjadi tutupan lain. Deforestasi, kata Slamet, masif di wilayah sekitar Pegunungan Latimojong.
Pegunungan Latimojong terletak pada posisi sentral karena airnya mengalir ke beberapa kabupaten. Meskipun beberapa kabupaten di sekitarnya ini memiliki wilayah DAS tapi airnya berasal itu dari pegunungan itu.
"Jadi logikanya adalah Latimojong yang membagi airnya masuk ke wilayah DAS dan DAS itu masuk ke wilayah aliran sungai. Pegunungan Latimojong ini sangat penting," kata Slamet.
Setelah mengecek menggunakan data Kementerian ESDM, WALHI menemukan ternyata kondisi di sekitar pejangga atau kaki Pegunungan Latimojong cukup parah. Pasalnya, di sana ada izin tambang emas yang diberikan pemerintah.
Menurut temuan WALHI, di sekitar kawasan penyangga Pegunungan Latimojong terdapat wilayah pertambangan emas milik PT Masmindo Dwi Area dan beberapa aliran sungai di sekitarnya juga dibebani oleh izin pertambangan pasir sungai (galian c).
"Di aliran-aliran sungai itu banyak juga tambang galian C itu baru legal, ya, karena banyak juga tambang galian C di situ. Itu juga yang memperparah di wilayah," kata Slamet.
Kondisi ini pun diperburuk karena jenis tanah di sekitar yang masuk dalam kategori tanah andosol dan latosol yang sangat rentan erosi utamanya ketika musim penghujan tiba. Dengan demikian, alih fungsi lahan untuk aktivitas ekstraktif dan perkebunan di kawasan penyangga akan mendorong terjadinya banjir dan longsor.
Maka dari itu, daya dukung dan daya tampung air Gunung Latimojong telah menurun beberapa tahun terakhir seiring dengan kegiatan perusahaan itu maupun tambang ilegal. Beberapa kali juga Luwu dihantam banjir dan tanah longsor saat musim hujan tiba.
"Padahal wilayah itu setahu kami sebagai daerah rawan bencana, utamanya longsor karena memang tanahnya itu jenis yang mudah erosi," kata Slamet.
WALHI Sulsel pun merekomendasikan empat hal. Pertama yaitu merevisi peraturan terkait pemanfaatan ruang (Rencana Tata Ruang Tata Wilayah/RTRW, Rencana Detail Tata Ruang/RDTR, Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan/RTBL). "Hal ini dikarenakan dalam analisis kami, ada banyak kawasan yang rentang terhadap bencana banjir dan longsor justru diberikan izin pertambangan," kata Slamet.
Kedua, mengubah perspektif dan model mitigasi serta penanggulangan bencana. Dari bencana ini, WALHI melihat bahwa sudah saatnya pemerintah tidak menyelesaikan persoalan ini secara kaku atau dibatasi wilayah administratif. Pemerintah seharusnya menyusun upaya mitigasi dan penanggulangan bencana melalui pendekatan bentang alam (baik penyelesaian di tingkat DAS maupun Kawasan Esensial).
"Karena yang kami lihat penyelesaian bencana dari perspektif pemerintah diselesaikan secara administratif saja. Selalu bilang ini bencana Luwu, Enrekang, Wajo, Soppeng. Jadi arahnya terkesan dibatasi administratif," kata Slamet .
Ketiga, memberikan edukasi serta melibatkan masyarakat secara bermakna di sekitar kawasan untuk sama-sama menyusun dan merumuskan upaya mitigasi dan penanggulangan bencana. Keempat, Gubernur Sulawesi Selatan harus tegas menindak aktivitas pertambangan yang berada di kawasan inti dan penyangga Pegunungan Latimojong.
"Peran gubernur Sulsel atau Pj gubernur seharusnya lebih banyak mengambil peran untuk mengkoordinasikan kabupaten-kabupaten yang berada di situ. Jadi pendekatannya bukan administratif tapi pendekatan wilayah, DAS atau ekosistem esensial," kata Slamet.