LBH Makassar. IDN Times / Sahrul Ramadan
Kasus tiga petani Soppeng yang sempat menjadi perhatian publik pada tahun 2018 telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dan telah berkekuatan hukum tetap sejak Desember 2020. Mereka awalnya ditangkap oleh Polisi Kehutanan pada 22 Oktober 2017 dengan tuduhan merambah hutan setempat.
Mereka dianggap melanggar UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU-P3H). Sejak saat itu, ketiganya ditahan di Rutan Makassar kemudian dipindahkan ke Rutan Soppeng selama 150 hari. Sampai akhirnya mereka dibebaskan oleh PN Watansoppeng karena tidak terbukti bersalah, Rabu, 21 Maret 2018.
PN memberikan keadilan bagi ketiga petani Soppeng dengan menjatuhkan putusan bebas dari segala tuntutan penuntut umum. Majelis Hakim berpendapat, dakwaan jaksa penuntut umum keliru menerapkan UU P3H. Sebab, subjek hukum yang ditujukan dalam UU P3H adalah setiap orang yang menebang pohon dan berkebun secara terorganisasi untuk kepentingan komersil. Bukan untuk petani yang tinggal dalam kawasan hutan secara turun-temurun dan berkebun hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Putusan ini telah diperkuat oleh Mahkamah Agung karena telah berkekuatan hukum tetap atau incraht.
Proses pidana, khususnya penahanan yang dijalani oleh tiga petani tersebut tidak semata masalah hukum. Namun juga berdampak pada masalah ekonomi, pendidikan dan tekanan psikis hingga kerugian materiel akibat penahanan selama 150 hari. Bahkan anak-anak mereka ikut merasakan dampaknya kerena ketiganya merupakan tulang punggung keluarga sehingga kebutuhan biaya pendidikan ikut terhambat.
Demikian pula yang dirasakan oleh istri dan keluarga lainnya. Dampak penahanan membuat mereka tidak dapat menikmati hasil panen yang dipakai untuk menyambung hidup, bahkan mereka membutuhkan biaya tambahan untuk membesuk selama penanahan.