Irjen Pol Rusdi Hartono bertugas sebagai Kapolda Sulsel. (Dok. Polda Jambi)
Muallim bahkan mengkritik pernyataan Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Arya Perdana yang mengatakan, saat kejadian pihaknya kalah jumlah dan jadi target massa aksi, sehingga tidak melakukan pencegahan.
"Adanya dimana? Nanti kita buktikan sama-sama di pengadilan saja. Semoga Kapolrestabes Makassar dan Kapolda Sulsel bisa mempertanggungjawabkan ucapannya," tegas Muallim.
Bahkan, ia menilai polisi sama sekali bukan target massa saat itu, karena menurutnya jika pihak kepolisian jadi target maka massa aksi akan menyerang kantor polisi, Polrestabes atau Polda Sulsel.
"Inikan nyatanya bukan, yang dikejar ini adalah sesuai tuntutan yang menjadi isu nasional. Yaitu bubarkan DPR, maka titik aksi unjuk rasa waktu itu adalah kantor DPRD Makassar dan DPRD Sulsel," jelasnya.
Olehnya itu, Muallim memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Makassar dapat memutuskan dan memenangkan perkara gugatan perdata tersebut.
"Secara prinsip, mudah-mudahan pengadilan negeri berani memutus dan memenangkan perkara kami, maka uang sebesar Rp 800 miliar ini akan kami gunakan untuk melakukan pembangunan kembali kantor DPRD Kota Makassar maupun kantor DPRD Provinsi Sulsel, soalnya kepolisian ini kan dibayar oleh kami masyarakat," tandasnya.
Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Arya Perdana, menepis isu yang menyebut polisi sengaja menghilang saat massa mulai ricuh pada Jumat, 29 Agustus 2025 malam. Ia menegaskan bahwa polisi tetap berada di lapangan saat insiden berlangsung.
"Polisi ada, kami ada di tempat di pos lantas (Flyover) yang dibakar, yang dilempari bom molotov. Kami ada di situ. Di DPRD pun sebenarnya ada anggota POM. Hanya saja, karena jumlah massa yang cukup banyak dan peralatan kami terbatas, kami memutuskan untuk memantau dari jauh," kata Arya, Senin (1/9/2025).