Ilustrasi Pengadilan Agama.(IDN Times/Sahrul Ramadan)
Dari puluhan kasus yang menimpa perempuan secara umum, kata Rezky, enam di antara perempuan yang menjadi korban KDRT menempuh upaya hukum lanjutan dalam konteks pelanggaran pidana. Umumnya, korban KDRT mendapatkan penganiayaan berat oleh pasangan yang dianggap tidak dapat ditolerir. Kekerasan fisik berupa pemukulan, menampar, melempar benda berat dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan korban terluka.
“Korban menempuh jalur pidana dengan laporan tindak pidana kekerasan fisik, penelantaran rumah tangga hingga zina. Dimana selanjutnya korban mengajukan gugatan perceraian. Di kasus lainnya, korban memilih hanya mengajukan gugatan cerai setelah mengalami kekerasan dan penelantaran keluarga dalam waktu yang lama,” ungkap Rezky.
Kurangnya pemahaman tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, menurut Rezky, dianggap menjadi salah satu pemicu keretakan dalam rumah tangga. Akibatnya perempuan yang terlihat lemah di hadapan pasangan, kerap menjadi sasaran kekerasan.
Padahal, kata Rezky, di dalam UU tersebut secara umum dijelaskan tentang keberimbangan hak dan kedudukan antara suami dan istri. Dalam artian, pengambilan keputusan tentang rumah tangga serta pembagian peran semestinya mencerminkan kesetaraan.
“Tapi pada realitasnya, masih tinggi ketimpangan relasi gender dalam rumah tangga. Dimana suami memegang kontrol sepenuhnya sebagai seorang laki-laki sehingga kekerasan bisa langgeng, dalam konteks perkawinan,” terangnya.