Dewan Nilai Program Seragam Sekolah Gratis Pemkot Makassar Kurang Matang

- Seragam belum dibagi padahal MPLS sudah berlangsung, menimbulkan potensi kesenjangan sosial antar siswa.
- Soroti kebijakan Disdik yang larang penjualan atribut di sekolah, memindahkan beban ke orang tua dan berpotensi menyebabkan kesenjangan kualitas pakaian.
- Program seragam gratis kurang matang dan bisa memicu masalah baru di sekolah, sebaiknya ditunda untuk perbaikan mekanisme pelaksanaan.
Makassar, IDN Times - Kebijakan penyaluran seragam sekolah gratis bagi siswa baru SD dan SMP negeri di Makassar kembali disorot. Anggota Komisi D DPRD Kota Makassar, Fahrizal Arrahman Husain, menilai program ini terkesan dipaksakan di tengah masih banyak kebutuhan mendesak di sektor pendidikan dasar.
Fahrizal menyebut program senilai Rp11 miliar itu terlalu terburu-buru dijalankan, tanpa kajian teknis memadai. Padahal, kata dia, kondisi nyata di sekolah justru menunjukkan urgensi penambahan ruang kelas dan perbaikan fasilitas fisik yang masih terbatas.
"Ini terkesan buru-buru. Padahal banyak hal yang lebih urgen seperti penambahan ruang kelas atau perbaikan fasilitas sekolah. Kenapa justru seragam yang diprioritaskan?" kata Fahrizal, Senin (14/7/2025).
1. Seragam belum dibagi padahal MPLS sudah berlangsung

Fahrizal menilai pembagian seragam juga rawan menimbulkan persoalan di lapangan. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) sudah berlangsung, sementara jadwal distribusi seragam masih belum pasti rampung sebelum tahun ajaran benar-benar aktif.
"Kalau pembagian tahap pertama saja baru rampung akhir Juli atau awal Agustus, berarti selama hampir sebulan siswa tidak memakai seragam. Ini bisa memicu kesenjangan sosial antar siswa," katanya.
2. Soroti kebijakan Disdik yang larang penjualan atribut di sekolah

Selain itu, Fahrizal menyoroti kebijakan Dinas Pendidikan yang melarang sekolah menjual atribut tambahan seperti baju olahraga, batik, atau Pramuka. Menurut dia, pelarangan tanpa solusi jelas hanya akan memindahkan beban ke orang tua.
"Kalau hanya putih-merah atau putih-biru yang disiapkan, sementara Jumat siswa harus pakai baju olahraga atau muslim, maka orang tua harus beli sendiri. Di sinilah muncul potensi kesenjangan, karena kualitas pakaian bisa berbeda-beda tergantung daya beli orang tua," ucapnya.
Dia juga menyoroti celah penyimpangan baru yang bisa muncul di level sekolah. Fahrizal menegaskan, pelarangan penjualan seragam hanya akan efektif jika benar-benar diawasi. Jika tidak, maka potensi pungutan halus melalui toko rekanan sekolah masih tetap terbuka.
"Kalau diarahkan beli di luar, tapi lewat toko yang sudah ditentukan sekolah, itu sama saja. Tetap membuka celah penyimpangan," katanya.
3. Berpotensi memicu masalah baru di sekolah

Bagi Fahrizal, niat program ini patut diapresiasi karena bertujuan meringankan beban masyarakat. Namun, tanpa perhitungan matang, program populis seperti ini justru berpotensi memicu masalah baru di sekolah.
Dia menyarankan penyaluran seragam sebaiknya ditunda ke semester berikutnya atau bahkan tahun ajaran depan. Penundaan dinilainya bisa memberi waktu bagi pemerintah untuk membenahi mekanisme pengadaan, memastikan produksi tepat waktu, sekaligus memperkuat sosialisasi ke orang tua.
"Kebijakan ini baik, tapi cara pelaksanaannya belum siap. Jangan sampai program prioritas ini malah jadi sumber keresahan," kata Fahrizal.