Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Dosen FDK UIN Alauddin Makassar Ramsiah Tasruddin (kiri) didampingi kuasa hukum LBH Makassar Abdul Azis Dumpa saat menghadiri pemeriksaan di Polres Gowa. IDN Times/Sahrul Ramadan

"Saya temukan ruang baru yang bisa saling memberi dukungan, saling menguatkan. Saya niatkan, setelah urusan (hukum) saya selesai, saya akan mewakafkan diriku untuk membantu orang," kata Ramsiah sembari menyeka air mata. Dua tahun terakhir, dia berstatus tersangka UU ITE. Empat kali Kejaksaan menolak berkas perkara dari Polres Gowa karena bukti tak cukup. Karenanya, kasus ini terindikasi kuat dipaksakan oleh polisi.

Makassar, IDN Times - Ramsiah Tasruddin tak pernah menyangka percakapannya dalam grup WhastApp internal sesama dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan, akan membawanya tersangkut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hanya karena menyampaikan pendapat pribadi saat diskusi persoalan akademik, dia menjadi tersangka kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Ramsiah dilaporkan oleh Nur Syamsiah, Wakil Dekan III FDK UIN Alauddin saat itu. Laporan terkait dugaan pencemaran nama baik dilayangkan pada 5 Juni 2017. Dua tahun setelah dilaporkan, tepatnya September 2019, Ramsiah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Satuan Reserse Kriminal Polres Gowa.

"Diskusi soal penutupan Radio Syiar FDK," kata Ramsiah, mengawali perbincangan dengan IDN Times di rumahnya di Kota Makassar, Rabu, 27 Oktober 2021.

"Innalillahi wainnailaihi rajoiun, lagi-lagi ibu itu berulah." Kalimat itu dikirim pimpinan laboratorium radio FDK UIN Makassar ke grup WhatsApp "SAVE FDK UIN ALAUDDIN", yang beranggotakan sekitar 30-an dosen. Dia menyinggung tindakan Nur Syamsiah yang sekonyong-konyong menutup radio praktik bagi mahasiswa. Kalimat itu langsung direspons oleh sebagaian besar anggota Grup WA.

"Kami juga resah dengan penutupan itu, khususnya kami kajur-kajur (ketua jurusan) yang memang menjadikan radio itu sebagai laboratorium untuk anak-anak kami," jelasnya. Di grup WA, sejumlah dosen meminta dekan FDK UIN saat itu--yang juga ada dalam grup--untuk mengambil sikap. Diskusi itu berlanjut ke persoalan tugas pokok dan fungsi jabatan pelapor yang menutup radio tersebut. "Ini kan masuk dalam akademik, pembelajaran jadi otomatis masuk di wilayahnya wadek (wakil dekan) satu," ucap Ramsiah.

Ramsiah mengatakan, aturan internal FDK UIN memang hanya mengijinkan laboratorium radio digunakan dari pagi hingga sore hari. Namun, saat itu mahasiswa sedang mempersiapkan pembelajaran kelas lanjutan untuk pagi hari. "Makanya mereka masih stay di situ di fakultas. Oleh ibu itu dikiranya mungkin mereka masih on (siaran) radionya," jelas Ramsiah.

Akibatmya, seluruh aktivitas kemahasiswaan untuk persiapan pembelajaran lanjutan terganggu, bahkan sempat terhenti. Mengingat pintu utama yang menghubungkan radio, laboratorium dan beberapa ruangan praktikum lainnya dikunci oleh Nur Syamsiah. "Seminggu bahkan sebulan tidak beroperasi itu radio," ujar Ramsiah.

1. Surat panggilan pemeriksaan dari Polres Gowa

Gedung Auditorium Serbaguna UIN Alauddin Makassar. (UIN-Alauddin.ac.id)

Beberapa hari setelah peristiwa penutupan laboratorium radio FDK UIN Makassar itu, pembicaraan di dalam grup WA "SAVE FDK UIN ALAUDDIN" bocor. Seorang dosen muda anggota grup WA itu mengirimkan tangkapan layar grup WA ke Nur Syamsiah. "Karena dia waktu itu memang polos sekali dan tidak pernah juga komentar di grup," kata Ramsiah.

Sang dosen muda, kata Ramsiah, mengaku ditekan oleh Nur Syamsiah agar mengirim tangkapan layar seluruh percakapan di grup WA itu. Bukti itulah yang jadi rujukan Nur Syamsiah melaporkan kasus ini ke Polres Gowa. "Dan apesnya lagi, ibu dosen (baru) ini menjadi saksi," ucap Ramsiah.

Ramsiah menyebut, ada dua saksi saat pemeriksaan awal polisi. Yakni, dekan FDK UIN dan si dosen muda.

"Waktu 30 orang (anggota grup WA) itu juga sempat disamaratakan semua, bahkan ada yang hanya kirim emoji tersenyum di grup dan tidak terkait dengan diskusi kami, itu juga dipanggil (jadi saksi)," Ramsiah tertawa.

Polisi pun mulai memeriksa sejumlah dosen FDK UIN Alauddin Makassar. Meski, sebagian di antaranya menolak bersaksi dengan alasan diskusi yang mereka lakukan bersifat tertutup di dalam grup WA. Ramsiah sendiri adalah dosen kesepuluh yang diperiksa. "Dari situ akhirnya sekitar 28 orang itu kita buatlah lagi pertemuan-pertemuan internal," Ramsiah menerangkan.

Pertemuan-pertemuan yang digelar para saksi, kata Ramsiah, adalah upaya mereka agar laporan Nur Syamsiah bisa dimediasi oleh Rektor UIN. Apalagi, pemberitaan mengenai puluhan dosen yang diperiksa polisi masif tersebar.

"Anehnya juga setiap kita bikin pertemuan sama teman-teman, kok rasa-rasanya ada yang memata-matai kami begitu, kan agak lucu," katanya.

Setahun berselang setelah laporan itu, tepatnya 2018 lalu, Ramsiah dan para kolega dosennya kaget ketika kembali mendapat surat panggilan pemeriksaan polisi.

"Kita dipanggil lagi (diperiksa) dari 30 orang, menjadi 15 orang," sebutnya.
Penyidik yang memeriksa Ramsiah dan dosen lainnnya bahkan sudah berganti sejak laporan dan pemeriksaan awal. "Dari penyidik satu ke penyidik dua. Ini yang penyidik dua mungkin stagnan di situ (2017-2018), lalu kemudian digantikan oleh penyidik tiga dan kita 15 itu dipanggil lagi pada Desember 2018 kalau tidak salah."

Pada pemeriksaan kali ketiga oleh penyidik baru, pertanyaan-pertanyaan kepada Ramsiah selalu sama seperti pemeriksaan awal. Berulang-ulang. Khususnya tentang diskusi di grup WA yang menjadi satu-satunya bukti yang dibawa Nur Syamsiah melapor polisi. Karena itu, Ramsiah mengaku merasa janggal. Hingga akhirnya pada awal 2019 lalu, dia beberapa kali dapat panggilan pemeriksaan.

"Saya sudah mulai dipanggil (diperiksa) sendirian."

Dia pun merasa aneh, karena seiring dengan pemanggilan dirinya, pertemuan dengan rekan-rekannya sesama dosen tidak pernah lagi terjadi.

2. Ramsiah ditetapkan tersangka jelang pelantikannya sebagai wakil dekan

Editorial Team