Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
1001172294.jpgDewi Sulastri selaku mitra Amartha menyajikan jalangkote produksi saat dikunjungi di kediamannya, di Jalan Kandea, Kecamatan Bontoala, Makassar, Rabu (17/9/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)
Dewi Sulastri selaku mitra Amartha menyajikan jalangkote produksi saat dikunjungi di kediamannya, di Jalan Kandea, Kecamatan Bontoala, Makassar, Rabu (17/9/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Intinya sih...

  • Dewi Sulastri meningkatkan produksi jalangkote tiga kali lipat setelah mendapat pinjaman Rp10 juta dari Amartha.

  • Nurjannah berhasil mengembangkan warungnya menjadi pusat layanan transaksi digital dengan rata-rata 200 transaksi per bulan.

  • Amartha telah memberdayakan lebih dari 3,3 juta mitra perempuan di lebih dari 50 ribu desa di seluruh Indonesia selama 15 tahun perjalanan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Makassar, IDN Times - Bagi sebagian orang, jalannya usaha tidak selalu mulus. Tantangan demi tantangan kerap membuat pelaku usaha kecil harus mencari cara agar tetap bertahan.

Namun bagi Dewi Sulastri dan Nurjannah, perjalanan usaha mereka mendapat arah baru berkat dukungan akses permodalan dan layanan digital dari Amartha. Dukungan itu menjadi titik balik yang perlahan mengubah kehidupan mereka.

1. Jalangkote jadi sumber rezeki

Proses pembuatan jalangkote di kediaman Dewi Sulastri di Jalan Kandea, Kecamatan Bontoala, Makassar, Rabu (17/9/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Dewi Sulastri sudah bertahun-tahun berjualan jalangkote, gorengan khas Makassar. Usahanya berpusat di Jalan Abubakar Lambogo, Kecamatan Makassar. Di awal merintis, dia hanya sanggup memproduksi sekitar 300 buah jalangkote per hari. Namun kini, jumlah itu naik lebih dari tiga kali lipat.

"Sekarang bisa 1.000 per hari, itu baru jalangkote, belum lumpia dan bakwan," kata Dewi saat ditemui di rumahnya di Jalan Kandea, Kecamatan Bontoala, Makassar.

Pandemik COVID-19 pada 2020 menjadi masa sulit. Usahanya hampir gulung tikar karena permintaan menurun drastis. Dalam kondisi terjepit, Dewi mencoba mencari bantuan keuangan untuk bertahan. Dari situlah dia mengenal Amartha, perusahaan teknologi keuangan yang fokus mendukung UMKM perempuan.

Awalnya, Dewi hanya mendapat pinjaman Rp4 juta. Dana itu dia gunakan untuk menjaga produksi tetap berjalan. Seiring waktu, pinjaman bertambah hingga Rp10 juta, yang dia investasikan untuk membeli mesin produksi jalangkote.

"Kalau dulu manual, sekarang sudah ada mesin. Produksinya lebih cepat, apalagi pesanan semakin banyak. Harga per biji Rp3.000, kalau ditotal omzet per bulan bisa ratusan juta," ungkapnya.

Dengan perkembangan usaha itu, Dewi kini mempekerjakan 9 orang karyawan, sebagian besar warga sekitar. Keberadaan usaha kuliner ini bukan hanya menopang ekonomi keluarganya, tetapi juga membuka lapangan kerja baru di lingkungannya.

2. Dari warung ke agen digital

Nurjannah (kanan) berfoto bersama VP Public Relations Amartha, Harumi Supit, warung Afiza Cell, di Jalan Bolu, Pattingaloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, Rabu (17/9/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Kisah inspiratif lain datang dari Nurjannah, ibu rumah tangga di Jalan Bolu, Pattingaloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Dua tahun lalu, dia bergabung sebagai agen AmarthaLink lewat warung kelontongnya, Afiza Cell.

Awalnya, Nurjannah hanya mengikuti langkah ibu-ibu lain yang sudah lebih dulu memanfaatkan AmarthaLink. Kini, warungnya berkembang menjadi pusat layanan transaksi digital, mulai dari pembayaran tagihan listrik, pembelian pulsa, hingga top-up angsuran Amartha.

Setiap bulan, rata-rata 200 transaksi tercatat di warungnya dengan nominal mencapai Rp50 juta. Dari setiap transaksi, dia mendapat keuntungan sekitar Rp4.000. 

"Dengan jadi agen AmarthaLink ini saya bisa mendapat tambahan penghasilan untuk keluarga. Dari pada di rumah saja," katanya. 

Keuntungan itu dia manfaatkan untuk menambah stok barang dagangan, membeli motor, bahkan menabung untuk pendidikan anak-anak. Modal awal Rp3-4 juta yang dia keluarkan kini sudah berkembang menjadi modal kerja sekitar Rp10 juta.

Selain berdagang, Nurjannah juga aktif mengikuti pelatihan literasi digital yang rutin digelar Amartha. Menurutnya, pendampingan itu membuat dirinya lebih paham cara mengelola usaha sekaligus menguatkan jaringan sesama pelaku UMKM.

"Selain transaksi, kami juga ikut kumpulan majelis. Dari sana, ada banyak ilmu baru tentang keuangan digital dan cara mengelola usaha," katanya.

3. Perempuan jadi tulang punggung UMKM

VP Public Relations Amartha, Harumi Supit, saat diwawancarai di Jalan Kanda, Kecamatan Bontoala, Makassar, Rabu (17/9/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

VP Public Relations Amartha, Harumi Supit, menjelaskan sejak awal perusahaan menaruh perhatian besar pada pemberdayaan perempuan. Fokus utamanya ialah membuka akses permodalan produktif, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan.

"Waktu Amartha berdiri tahun 2010, banyak perempuan yang sulit mendapat akses modal. Bahkan ada budaya yang membatasi mereka untuk tetap di rumah. Dari situlah pendiri kami tergerak untuk membantu," kata Harumi.

Dia mengatakan Amartha terinspirasi dari model Grameen Bank yang memberi pinjaman kecil tanpa agunan kepada ibu-ibu rumah tangga. Dari satu pinjaman awal Rp500 ribu yang dikembalikan tepat waktu, usaha ini berkembang hingga kini.

"Ternyata pinjaman itu dikembalikan tepat waktu dan para ibu justru membawa teman-teman mereka. Dari situ lahir keyakinan bahwa ini bisa berkembang," katanya.

Selama 15 tahun perjalanan, Amartha sudah menjangkau lebih dari 3,3 juta mitra perempuan di lebih dari 50 ribu desa di seluruh Indonesia. Khusus di Sulawesi, sejak hadir pada 2019, tercatat lebih dari 700 ribu perempuan pelaku usaha kecil telah mendapatkan modal.

Selain dukungan modal, Amartha juga mengandalkan lebih dari 1.300 tenaga lapangan di Sulawesi untuk memberikan pendampingan. Mereka membantu edukasi literasi keuangan, pelatihan digital, serta memastikan mitra bisa mengelola usaha dengan baik.

Editorial Team