Buruh KIBA Ungkap Eksploitasi Jam Kerja dan Upah Lembur Tak Dibayar

- Upaya buruh dalam menempuh perundingan
- Mediasi menemui jalan buntu
- Tuntut upah lembur buruh dibayarkan
Makassar, IDN Times - Konflik ketenagakerjaan di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) kian membara. PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) bersama tiga anak usahanya diduga sengaja mengabaikan kewajiban hukum membayar upah lembur buruh yang dipekerjakan melebihi jam kerja wajar.
Alih-alih menjalankan penetapan pengawas ketenagakerjaan, manajemen perusahaan justru mendorong masalah ini ke jalur pengadilan, sambil tetap menjalankan produksi dan ekspor feronikel.
Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) mencatat, ribuan buruh bekerja dengan pola kerja tidak wajar. Sistem shift 12 jam per hari dijalankan 5 hari seminggu tanpa hitungan lembur yang dibayarkan penuh.
Buruh yang bekerja dengan pola reguler bahkan kerap tidak memiliki hari libur. Pelanggaran ini sudah diakui secara resmi melalui penetapan Pengawas Ketenagakerjaan pada Mei 2025 yang menyatakan perusahaan wajib membayar kekurangan upah lembur puluhan buruh.
"Dalam system kerja ini, PT Huadi tidak membayar upah lembur secara penuh atas kelebihan jam kerja. Serta tidak membayar penuh upah kerja saat buruh bekerja pada istrahat mingguan," kata Abdul Azis Dumpa, selaku Direktur LBH Makassar sekaligus kuasa hukum buruh melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Sabtu (19/7/2025).
1. Upaya buruh dalam menempuh perundingan

Namun, menurut serikat, hingga kini perusahaan tetap enggan menindaklanjuti putusan pengawas. Berbagai upaya formal sudah ditempuh. Mulai dari surat keberatan, bipartit, hingga tripartit di Dinas Tenaga Kerja.
Terakhir, perundingan tripartit keempat pada 10 Juli 2025 lalu pun kembali mentok. Pihak manajemen hanya mengirim pengacara baru yang mengaku belum memahami substansi kasus.
Sementara itu, perusahaan justru merilis narasi bahwa buruh dan serikat pekerja melanggar hukum dengan aksi blokade. Narasi tersebut dinilai serikat sebagai upaya menutup mata publik atas pelanggaran berat di internal perusahaan.
"Buruh tidak sedang menghalangi ekspor perusahaan. Mereka hanya menahan tenaga mereka yang melekat pada hasil produksi perusahaan, agar tidak dijual sebelum hak-hak mereka dipenuhi. Ini upaya buruh untuk mendapatkan keadilan," kata Azis.
2. Mediasi menemui jalan buntu

Kebuntuan mediasi membuat ratusan buruh mengambil langkah blokade gerbang utama pabrik sejak 13 Juli 2025. Mereka mendirikan tenda, bermalam di lokasi, dan bertekad bertahan 7 hingga 10 hari. Aksi serupa juga merembet ke Makassar dan Jakarta untuk mendesak perhatian publik dan pemerintah pusat.
Serikat menilai sikap manajemen PT Huadi sebagai bentuk pembangkangan terbuka terhadap mekanisme hukum nasional. Padahal, hukum ketenagakerjaan mengenal dua jalur penyelesaian perselisihan yaitu jalur peradilan (judicial remedy) dan jalur eksekutif (executive remedy) melalui pengawasan pemerintah.
"Upaya mereka mengarahkan akses keadilan buruh hanya melalui Pengadilan Hubungan Industrial adalah bentuk pengelabuan terhadap otoritas pemerintah dan juga publik, agar terhindar dari tanggung jawab hukum untuk memenuhi hak-hak buruh dan menghindari sanksi administratif," kata Azis.
3. Tuntut upah lembur buruh dibayarkan

Hingga kini, SBIPE tetap menuntut agar seluruh kekurangan upah lembur buruh dibayarkan penuh dan setiap keputusan PHK maupun kebijakan merumahkan buruh dijalankan sesuai prosedur hukum. Mereka juga mendesak pemerintah turun tangan menindak perusahaan yang terbukti abai terhadap aturan.
Seluruh kronologi ini, kata Azis, menunjukkan buruh dan serikat sudah menempuh jalur hukum dengan tertib sambil terus membuka ruang dialog dengan pihak perusahaan. Namun setiap upaya tersebut selalu berakhir dengan penundaan, pengabaian, dan janji yang tak pernah dipenuhi.
"Praktik ini bukan sekadar pelanggaran ketanagakerjaan biasa, bahkan mengarah pada bentuk perbudakan modern, karena PT Huadi secara sistematis mengeksploitasi tenaga kerja buruh melebihi batas waktu kerja yang sah, dan menolak membayar penuh upah lembur buruhnya," tegas Azis.