Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Frederick Kalengke (45), warga di Kota Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng)/IDN Times/Kristina Natalia/bt

“Kalau tidak bisa menyelesaikan dengan harga yang telah disepakati silakan tinggalkan, kami akan tetap bertahan dan kami tidak mau jual,” ucap Frederick Kalengke (45), warga di Kota Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), yang masih bertahan menjaga budaya Wayamasapi sebagai kearifan lokal dalam menangkap ikan.

Wayamasapi secara harfiah merupakan sebutan untuk jejeran pagar yang terbuat dari bambu dan jerat di pinggiran danau untuk menangkap ikan migrasi sidat yang disebut masyarakat Pamona Poso Sogili atau Masapi.

Fredi merupakan satu dari tiga pegiat Wayamasapi yang masih bertahan di sekitar proyek pengerukan dasar danau oleh PT Poso Energy sebagai perusahaan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

“Wayamasapi ini bukan hanya mata pencarian keluarga tetapi juga sebagai budaya dan warisan leluhur yang harus dipertahankan," kata Fredi ditemui di Poso, Sabtu (17/09/2022).

1. Mempertahankan identitas keluarga turun-temurun

Wayamasapi milik Fredi Kalengke di danau Poso, Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. IDN Times/Kristina Natalia/bt

Di tahun 2014, Fredi menerima surat wasiat dari orangtua yang bertuliskan ‘rumah dan pagar sogili atau Wayamasapi di Muara Danau Poso diberikan kepada anak saya Frederick Kalengke’.

Menurut Fredi, Wayamasapi di Danau Poso bukan lagi soal penghasilan sehari-hari melainkan sebagai identitas keluarga turun-temurun. Fredi merupakan generasi ketiga pewaris Wayamasapi di Danau Poso yang diharapkan bisa bertahan dan melanjutkan budaya masyarakat Poso yang hampir punah.

"Saya tidak akan rela warisan budaya ini hilang karena Wayamasapi juga adalah peninggalan keluarga saya yang usianya sudah mencapai lebih dari 100 tahun," kata Fredi.

2. Arti penting bilangan ganjil bagi komunitas masyarakat Wayamasapi

Editorial Team

Tonton lebih seru di