Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Berkah Setrum Bersih, Tambak Udang Kian Produktif

Salah satu tambak budidaya udang vaname di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang beroperasi dengan mengandalkan jaringan listrik PLN melalui program Electrifying Agriculture. (IDN Times/Aan Pranata)

Takalar, IDN Times - Air yang memenuhi kolam tampak jernih kehijauan di bawah terik matahari. Di permukaannya, sejumlah kincir terus berputar, menciptakan buih dan riak-riak serasi dengan irama aliran udara.

Pemandangan itu terpampang di Laikang, sebuah desa pesisir di Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, pada Rabu siang, 23 Oktober 2024. Sebuah kawasan tambak berdiri di tepi laut, menghadap ke pantai tepat di ujung Selatan pulau Sulawesi.

Kincir aerator yang bekerja pada kolam jadi penanda aktivitas tambak budidaya udang vaname berskala rumah tangga yang dikelola pemuda bernama Sardi. Kincir-kincir berfungsi meningkatkan oksigen di dalam air, agar udang-udang yang hidup di sana dapat tumbuh optimal.

Sardi mengurusi tambak seluas 1600 meter persegi. Terbagi dalam empat kolam dengan ukuran total 40x40 meter. Dalam sekali masa panen, biasanya dengan jangka waktu maksimal 120 hari, tambaknya bisa menghasilkan total 22 ton udang.

“Kincir memang wajib aktif terus. Terutama kalau udang sudah berumur tua atau besar, sudah 24 jam nonstop,” kata Sardi saat bercerita kepada IDN Times.

Di Takalar, udang jadi salah satu komoditas perikanan budidaya dengan produksi terbesar. Menurut data pemerintah setempat, pada tahun 2022, produksinya mencapai 1.350 ton, dengan nilai Rp94 miliar lebih. Luas tambak di Takalar tercatat 4,233 hektare, untuk berbagai jenis komoditas produksi.

Kincir air sangat dibutuhkan dalam menghidupkan tambak udang. Kincir, kata Sardi, berputar menciptakan gelembung udara di dalam air, sehingga konsentrasi oksigen terlarut meningkat. Itu penting untuk proses respirasi dan metabolisme udang. Kincir juga menghasilkan gerakan air yang konsisten sehingga pakan dapat tersebar merata.

Penggunaan kincir dibutuhkan terutama pada malam hari. Sebab di waktu tersebut tidak ada proses fotosintesis, di mana organisme menggunakan sinar matahari mengubah air menjadi oksigen.

“Plankton yang ada di air juga menyerap oksigen saat malam, jadi oksigen dalam kolam tambah tipis,” ucap Sardi.

Umumnya satu kincir air membutuhkan daya 650-750 watt. Pemakaian kincir tergantung umur atau ukuran udang budidaya. “Kalau masih kecil, bisa gunakan empat per kolam. Nanti besar baru ditambah, maksimal delapan,” dia menambahkan.

Menekan ongkos produksi dengan beralih dari diesel ke listrik PLN

Petugas PLN mengecek instalasi jaringan listrik di sebuah tambak udang di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Rabu (23/10/2024). (IDN Times/Aan Pranata)

Sardi mengenang sekitar satu tahun lalu, saat tambaknya bergantung sepenuhnya pada energi listrik dari genset diesel. Termasuk untuk menggerakkan kincir-kincir air di setiap kolam. Mau tidak mau, genset harus diisi dengan bahan bakar solar nonsubsidi yang relatif lebih mahal.

Di masa itu, Sardi bisa mengeluarkan biaya hingga Rp50 juta per bulan hanya untuk menghidupkan genset. Sebagian besar untuk biaya bahan bakar, yang pemakaiannya terus bertambah seiring usia udang. Angka itu hanya estimasi, sebab harga bahan bakar fluktuatif.

Biasanya, Sardi membeli tiga jeriken bahan bakar setiap dua atau tiga hari. Sekali beli totalnya sekitar seratus liter. Dalam sebulan bisa mencapai tiga ribu liter. Dia juga harus mengeluarkan upah untuk orang suruhan, karena mesti menempuh jarak sekitar 18 kilometer dari tambak ke agen.

“Istilahnya ada uang jalan Rp1.000 per liter. Belum lagi biaya untuk maintenance mesin. Karena genset beroperasi terus, jadi oli harus sering diganti, cairan coolant juga,” Sardi menjelaskan.

Genset juga digunakan untuk menghidupkan pompa celup dengan total daya 7.500 watt. Pompa berfungsi menarik air dari laut menuju kolam penampungan. Setelah disterilkan, air dipompa ke kolam budidaya berisi udang. Jika kincir harus beroperasi setiap saat, pompa ini hanya dinyalakan sewaktu-waktu, misalnya jika air dalam kolam menyusut.

Tingginya biaya operasional jadi alasan Sardi kemudian beralih ke listrik PLN. Singkat cerita, dia mengajukan pemasangan jaringan listrik dengan kapasitas daya 33 kVA. Hasilnya, kini biaya operasional bisa ditekan 20 hingga 30 persen.

Dengan jaringan listrik PLN, tidak ada lagi ongkos perawatan mesin karena peralatan listrik tinggal colok. Tidak butuh upah untuk membeli bahan bakar. Listrik ramah lingkungan dengan tegangan stabil tersedia selama 24 jam.

“Memang berkurang jauh sekali biaya operasionalnya, kira-kira Rp15 juta sampai Rp20 juta. Sekarang pemakaian listrik paling tinggi Rp37 juta,” ucap Sardi.

“Yang saya suka, prosedur pemasangan listriknya mudah. Respons petugas PLN juga bagus, mereka banyak sosialisasi. Jadi istilahnya kita betul-betul terbantu,” dia melanjutkan.

Ada alasan lain bagi Sardi dan banyak petambak udang di Takalar beralih menggunakan listrik PLN. Yaitu layanan Renewable Energy Certificate (REC), sertifikasi energi bersih yang diakui dunia internasional. Sertifikat itu mendukung untuk mereka masuk ke pasar ekspor. Setiap sertifikad REC membuktikan bahwa listrik per megawatt hour (MWh) yang digunakan pelanggan berasal dari pembangkit EBT atau nonfosil.

“Sertifikat Energi Baru Terbarukan (EBT) tentunya dapat menambah nilai jual kami, karena tujuan kami selain produk tersebut untuk pasar lokal juga untuk pasar internasional,” kata Sardi.

Tegangan listrik stabil menjamin kualitas produksi

Pelaku tambak udang di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, menekan biaya operasional usai beralih dari energi fosil ke listrik PLN. (Dok. Istimewa)

Peralihan dari genset diesel ke listrik PLN mendorong peningkatan budidaya udang. Hal itu dirasakan betul oleh Sardi. Tegangan listrik yang lebih stabil menjamin kincir-kincir beroperasi optimal. Dampak positifnya, pertumbuhan udang dalam kolam terjaga hingga masa panen tiba.

Berbeda dengan saat masih memakai genset. Sardi sempat merasakan gagal panen akibat kerusakan dinamo pada kincir air. Itu gara-gara tegangan yang dihasilkan genset naik-turun.

“Kalau genset kadang tidak stabil karena sistem digas. Kalau kurang powernya harus digas. Sedangkan kincir butuh tegangan stabil. Kalau spaning turun, bisa terbakar dinamo. Nah, perbaikannya, satu kali gulung dinamo yang terbakar saja itu Rp600 ribu,” Sardi menerangkan.

Sardi membocorkan bagaimana metodenya mengelola tambak udang vaname dengan metode efisien dan produktif. Dalam satu kali masa panen, tambaknya mampu menghasilkan 22 ton. Proses panen tidak serta-merta sekaligus, melainkan melalui metode parsial selama 120 hari yang memaksimalkan potensi hasil.

Masa panen udang vaname tergantung kondisi tambak. Namun, jika kondisi memungkinkan, panen parsial mulai dilakukan sejak udang berusia 60 hari. Udang dipanen sebagian menggunakan jala dan langsung dijual. Dengan metode panen parsial, Sardi dapat mengurangi risiko kerugian akibat kematian massal atau penyakit udang yang dapat muncul sewaktu-waktu.

“Kalau sudah 60 hari, biasanya kita mulai panen parsial, sekitar 20 persen dari total biomassa di kolam. Setelah itu, setiap 10 hari kita kurangi lagi sebagian sampai lima kali pengurangan,” ujar Sardi.

Teknik ini memungkinkan tambak untuk mempertahankan produksi yang berkelanjutan tanpa harus menunggu panen besar sekaligus. Melalui estimasi jumlah pakan yang telah digunakan, Sardi dapat menghitung berapa total biomassa udang yang masih ada di kolam.

"Misalnya, jika pakan sudah terpakai 1,2 ton, estimasi udang di kolam sekitar 1 ton. Karena konversi pakan ke udang itu 1:1,2, artinya 1,2 kilogram pakan menghasilkan 1 kilogram udang," jelasnya.

Dalam setiap kali pengurangan, rata-rata Sardi bisa memanen sekitar 500 kilogram udang per kolam. Proses ini berlanjut setiap 10 hari sampai lima kali panen parsial. Setelah itu, udang yang tersisa ditahan sampai hari ke-120 untuk panen total, kecuali jika ada kondisi mendesak, seperti masalah kesehatan atau kendala lain yang menghambat pertumbuhan udang.

Pada kondisi ideal, dengan total produksi sekitar 22 ton, nilai penjualan udang bisa mencapai Rp1,1 miliar. Angka yang terdengar cukup besar bagi usaha tambak skala rumah tangga. Namun Sardi menggarisbawahi bahwa angkat itu masih kotor, belum dikurangi biaya operasional.

Dalam satu periode masa panen, biaya operasional bisa mencapai Rp700 juta. Dari jumlah tersebut, pakan memakan sekitar Rp300 juta, disusul oleh listrik yang menghabiskan 20–25 persen dari total biaya operasional. Sisanya digunakan untuk menggaji karyawan dan biaya lain-lain.

“Pakan itu memang setengah dari biaya produksi, karena sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan udang. Selain itu, biaya listrik untuk menggerakkan kincir air juga cukup tinggi, terutama saat udang sudah besar dan kincir harus aktif 24 jam,” kata Sardi.

Dukungan energi hemat dan bersih melalui program Electrifying Agriculture

Sardi (kiri), pelaku tambak udang di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, menekan biaya operasional usai beralih dari energi fosil ke listrik PLN. (Dok. Istimewa)

Sardi merupakan salah satu pelaku budidaya perikanan tambak di Takalar yang dijangkau program Electrifying Agriculture (EA). Sebuah program Perusahaan Listrik Negara atau PT PLN (Persero) yang mendorong pelaku sektor agrikultur menggunakan alat dan mesin produksi berbasis listrik. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, dan peternakan.

Andi Akhmad Rakhmatullah Muhidin, Manajer PLN Unit Layanan Pelanggan (ULP) Takalar mengatakan, program EA diharapkan bisa memberi nilai lebih kepada pengusaha, yaitu memberikan nilai ekonomis dalam operasionalnya. Selain lebih hemat dan ramah lingkungan dibandingkan menggunakan diesel, jaringan listrik PLN juga lebih andal dan kontuinitasnya terjaga.

“Genset maintenance-nya cukup mahal. Dengan PLN, tinggal colok, nyalakan alat listrik, free maintenance. Tidak perlu memikirkan biaya BBM dan sebagainya,” katanya.

Program EA PLN menawarkan kemudahan bagi pelaku tambak dari sisi tarif. Karena masuk golongan bisnis, tarifnya lebih murah dibandingkan listrik rumah tangga. Untuk tambak Sardi, dengan kapasitas daya 33 kVA, tarifnya Rp640 per kWh. Bandingkan dengan tarif listrik golongan daya 1.300 VA misalnya, dengan tarif Rp1.444,7 per kWh.

“Dari PLN, kita juga memudahkan dengan keterbukaan biaya penyambungan, prosedur pelayanan yang bisa melalui PLN Mobile, dan juga percepatan jika membutuhkan sarana infrastruktur. Jadi pelanggan bisa terlayani dengan cepat,” Akhmad menjelaskan.

Di Takalar, PLN menjalankan program EA dengan menyasar berbagai sektor pertanian, peternakan, dan pertambakan. “Harapannya, kemudahan layanan PLN dan keandalan kualitas jaringan bisa membantu meningkatkan keuntungan dari para pelaku pengusaha,” kata Akhmad.

General Manafer PLN Unit Induk Distribusi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat (UID Sulselrabar) menyampaikan, program EA adalah komitmen PLN mendorong modernisasi di sektor pertanian. Para petani dibantu dengan penyediaan listrik andal, terjangkau, dan ramah lingkungan. Dia berharap program EA bisa semakin masif menyasar ke seluruh petani. Sehingga program ini dapat meningkatkan produktivitas yang akan berdampak pada kesejahteraan para petani.

“Mudah-mudahan dengan sarana ini ekonomi Indonesia semakin kuat dan taraf hidup khususnya untuk para petani, peternak, petambak semakin baik. Kita bantu petani dengan energi listrik yang lebih andal dan bersih,” ujarnya.

Budiono menambahkan, program ini juga bertujuan menciptakan Creating Shared Value (CSV) bagi masyarakat dan lingkungan melalui inovasi teknologi kelistrikan. Ia bersyukur, hingga Juli 2024, jumlah pelanggan Program EA di Sulselrabar telah mencapai 3.350 pelanggan dengan total daya tersambung sebesar 188.685 kVA.

“Program EA juga menjadi bagian dari langkah strategis perseroan dalam upaya mendorong perekonomian melalui sektor ketenagalistrikan,” kata Budiono.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Aan Pranata
EditorAan Pranata
Follow Us