Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
APDESI Sulsel menyoroti kebijakan nasional yang berpotensi membebani desa. (Dok. Istimewa)
APDESI Sulsel menyoroti kebijakan nasional yang berpotensi membebani desa. (Dok. Istimewa)

Makassar, IDN Times – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Provinsi Sulawesi Selatan menyoroti sejumlah rencana kebijakan nasional yang dinilai berpotensi bersinggungan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, ekonomi desa, dan tata kelola Dana Desa.

Ketua DPD APDESI Sulsel, Sri Rahayu Usmi, mengatakan pihaknya memandang perlu memberikan saran dan pertimbangan agar kebijakan pemerintah pusat tetap sejalan dengan prinsip kemandirian dan keadilan bagi desa, khususnya di wilayah Sulawesi Selatan.

“Kami berharap kebijakan yang diterapkan tidak menambah beban administratif atau finansial bagi desa, tetapi justru memperkuat kemandirian desa,” ujarnya di Makassar, Minggu (26/10/2025).

1. Potensi beban baru hingga pergeseran prioritas dana desa

Ketua DPD APDESI Sulsel, Sri Rahayu Usmi. (Dok. Istimewa)

Berdasarkan hasil kajian dan masukan dari pemerintah desa di berbagai kabupaten/kota, APDESI menemukan sejumlah potensi permasalahan dalam implementasi kebijakan nasional yang diarahkan ke desa.

Salah satunya adalah beban tambahan administratif dan investasi akibat kewajiban pembangunan fasilitas tertentu seperti gerai, gudang, atau koperasi desa. Kebijakan ini dinilai dapat membebani desa yang memiliki sumber daya terbatas.

Tanpa dukungan dana pendamping, kondisi tersebut berisiko menimbulkan defisit atau bahkan utang desa. Selain itu, APDESI juga menyoroti potensi pergeseran prioritas penggunaan Dana Desa dari kebutuhan utama masyarakat—seperti infrastruktur dasar, sanitasi, air bersih, dan pemberdayaan masyarakat—menuju program nasional yang belum tentu relevan dengan kondisi lokal.

APDESI Sulsel menilai adanya potensi ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dan karakteristik desa di Sulsel. Banyak desa di provinsi ini memiliki perbedaan sosial, ekonomi, dan geografis yang signifikan, sehingga penerapan program seragam dikhawatirkan tidak akan efektif.

“Risiko ketimpangan antar-desa bisa meningkat. Desa yang punya sumber daya dan kapasitas kuat akan lebih cepat memenuhi program, sementara desa tertinggal bisa makin tertinggal,” jelas Ayu, sapaan akrabnya.

2. APDESI minta pelibatan daerah dan penundaan program baru

ilustrasi anggaran (IDN Times/Aditya Pratama)

Untuk menghindari masalah di lapangan, DPD APDESI Sulsel menyampaikan sejumlah saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat. Beberapa di antaranya adalah meminta kementerian terkait melibatkan organisasi desa seperti APDESI dalam proses perumusan kebijakan, melakukan kajian teknis dan konsultasi daerah sebelum pelaksanaan program nasional di tingkat desa, serta menjamin adanya dukungan pendanaan, pelatihan, dan pendampingan teknis bagi desa.

Selain itu, APDESI juga mengusulkan agar pedoman pelaksanaan program bersifat fleksibel sehingga desa dapat menyesuaikan dengan kondisi masing-masing tanpa terbebani kewajiban infrastruktur yang tidak relevan.

Implementasi program baru yang bersinggungan dengan desa juga diminta ditunda hingga dilakukan sosialisasi resmi dan penyesuaian terhadap kondisi riil di lapangan.

“Potensi antar-desa harus disinergikan agar saling mendukung. Jika ada kegiatan fisik yang tidak melalui musyawarah desa atau usulan masyarakat, lebih baik anggarannya dikembalikan ke pusat,” tegas Ayu.

Dalam konteks kebijakan terbaru, APDESI Sulsel juga menyoroti penyesuaian skema pembiayaan Komando Daerah Ketahanan dan Kemandirian Pangan (KDKMP). Pemerintah diketahui mengalihkan pembiayaan menjadi satu pintu melalui Agrinas Pangan Nusantara, dengan dukungan sindikasi bank-bank Himbara dan BSI senilai Rp240 triliun.

Program tersebut turut melibatkan TNI AD sebagai pelaksana pembangunan ruang usaha KDKMP berdasarkan perjanjian kerja sama (PKS) antara Agrinas dan TNI AD. Namun, APDESI menilai skema tersebut perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan beban baru bagi desa maupun tumpang tindih kewenangan dengan struktur pemerintahan desa.

“Kami berharap setiap langkah pembangunan, termasuk yang melibatkan TNI AD, tetap mempertimbangkan kearifan lokal dan koordinasi dengan pemerintah desa,” kata Ayu.

3. APDESI Sulsel kirim surat ke DPR RI

Ketua APDESI Sulsel, Sri Rahayu Usmi/Istimewa

Sebagai tindak lanjut dari hasil pemantauan di lapangan, DPD APDESI Sulsel juga mengirimkan surat resmi kepada Ketua Komisi VI DPR RI pada Senin (27/10/2025). Surat tersebut berisi rekomendasi dan evaluasi terhadap implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes MP).

Dalam surat yang ditandatangani Ketua DPD APDESI Sulsel, Sri Rahayu Usmi, terdapat sejumlah catatan penting, termasuk potensi masalah hukum dan tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

APDESI menyoroti antara lain, penunjukan PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) sebagai pelaksana utama pengelolaan dana Kopdes MP yang belum memiliki mekanisme pertanggungjawaban keuangan di tingkat desa; skema jaminan hingga 30% Dana Desa yang dinilai bertentangan dengan prinsip otonomi dan kemandirian desa;

Berikutnya, minimnya pelibatan Musyawarah Desa (Musdes) dalam pengambilan keputusan; serta risiko hukum bagi kepala desa dan pengurus koperasi akibat belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah desa, PT Agrinas, dan pemerintah pusat.

Melalui surat tersebut, APDESI Sulsel meminta Komisi VI DPR RI untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama sejumlah kementerian terkait guna mengevaluasi pelaksanaan Inpres No. 17 Tahun 2025.

Selain itu, APDESI juga mendorong penyusunan pedoman teknis (juknis) yang menjamin partisipasi pemerintah desa dan membatasi dominasi pihak eksternal dalam pengelolaan dana publik, serta menekankan pentingnya pendampingan dan peningkatan kapasitas SDM desa dalam pengelolaan koperasi agar kebijakan ini tidak hanya berorientasi pada pembangunan fisik, tetapi juga pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan.

Editorial Team