Direktur Eksekutif Walhi Sulsel Muhammad Al Amin menunjukkan peta penggunaan lahan di Kota Makassar. IDN Times/Aan Pranata
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan mencatat, dampak abrasi terjadi karena masifnya aktivitas penambangan pasir laut di kawasan Perairan Galesong Raya, Takalar. Sepanjang 2017 hingga 2018, Perusahaan asal Belanda PT Royal Boskalis dan Jan De Nul mengeksploitasi pasir dasar laut kawasan setempat.
Pendangkalan laut berimbas pada bencana abrasi hingga perlahan menghilangkan mata pencaharian masyarakat setempat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan. Koordinator Divisi Advokasi Walhi Sulsel Muhaimin menyebut, 2017 lalu ada sekitar 20 kepala keluarga di wilayah pesisir Galesong yang terdampak abrasi.
Ratusan orang nelayan bahkan beralih profesi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mulai dari tukang ojek hingga buruh bangunan. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah apabila kebijakan terkait aktivitas pengelolaan tambang pasir yang masuk dalam wilayah tangkap nelayan hingga pemukiman warga, tidak menjadi perhatian serius pemerintah setempat.
"Peraturan daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), dalam peraturan ini, nelayan meminta kepada pembuat kebijakan agar tidak memasukkan zona tambang di wilayah tangkapannya," ungkap Muhaimin.
Saat ini, lanjut Muhaimin, ada enam lagi perusahaan yang sementara mengurus izin untuk melakukan operasi pertambangan di wilayah laut setempat. Bencana ekologis di pesisir dan laut Galesong, menurut Muhaimin, akan tetap ada, sebelum pemprov dan pemda membatalkan semua surat permohonan izin lingkungan yang diajukan oleh seluruh perusahaan.
"Apalagi luas alokasi ruang yang diajukan oleh perusahaan di sini sebesar 4.018,6 hektare area, dua kali lipat luas Kecamatan Gelesong Utara, Takalar. Artinya akan ada puluhan desa pesisir di Galesong terkena dampak dan diperkirakan sekitar ribuan nelayan yang terancam wilayah tangkapnya jika tambang pasir laut beroperasi kembali," ucapnya.