10 Hari Blokade Smelter, Ratusan Buruh PT Huadi Nickel Tuntut Pembayaran Hak

- Buruh PT Huadi masih bertahan setelah 10 hari
- Buruh menuntut hak sesuai UMP 2025 dan lembur, serta kepastian masa dirumahkan
- SBIPE juga mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap PT Huadi
Makassar, IDN Times - Aksi pendudukan buruh PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNI) di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) telah memasuki hari kesepuluh. Sejak 13 Juli 2025 lalu, ratusan buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Industri dan Pengolahan Energi (SBIPE) terus berjaga di gerbang utama pabrik sebagai bentuk protes.
Aksi pendudukan ini merupakan penolakan tegas terhadap kebijakan perusahaan yang memotong upah pokok dan lembur tanpa persetujuan. Praktik ini dinilai menyalahi ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan 2025 dan aturan kerja lembur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Selain itu, PT Huadi juga merumahkan ratusan pekerja tanpa kepastian waktu dan tanpa proses perundingan yang seharusnya menjadi hak buruh. Hal ini memicu ketidakpastian penghasilan dan beban ekonomi bagi keluarga pekerja.
"Kami dihadapkan pada kenyataan pahit, kerja siang malam tapi upah kami dicuri. Kami menuntut hak, bukan belas kasihan," kata Rizal, koordinator lapangan aksi, dikutip dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Rabu (23/7/2025).
Rizal juga mengungkapkan bahwa selama sepuluh hari aksi, belum ada itikad baik dari perusahaan untuk membuka ruang dialog atau menyelesaikan persoalan secara adil.
1. Buruh tegaskan tidak akan mundur

SBIPE juga mengecam keras langkah PT Huadi yang alih-alih menjawab tuntutan sah dan konstitusional, justru mengabaikannya. Aksi damai yang dijamin undang-undang malah dibalas dengan intimidasi dan upaya memecah solidaritas antarburuh.
Dalam pertemuan beberapa hari lalu dengan Bupati Bantaeng dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA), SBIPE kembali menegaskan lima tuntutan pokok. Tuntutan itu mencakup pembayaran penuh upah pokok sesuai UMP 2025, pembayaran lembur sesuai aturan, memberikan kepastian jangka waktu upah seusai UMP bagi buruh yang dirumahkan, serta menuntut dialog setara antara buruh dengan perusahaan terkait semua tindakan perusahaan yang berkaitan dengan buruh,
"Perusahaan ingin kami menghentikan aksi, tapi kami akan terus berada di sini. Selama hak kami belum dikembalikan, selama keadilan belum ditegakkan, kami tidak akan mundur," kata Junaid Judda, Ketua SBIPE Bantaeng.
Junaid menegaskan aksi akan terus diperpanjang dan dukungan akan digalang hingga ke tingkat nasional. Menurutnya, solidaritas antarburuh menjadi kekuatan untuk melawan perusahaan yang meraup keuntungan dengan mengorbankan kesejahteraan pekerja.
Selain menegaskan komitmen untuk terus bertahan sampai tuntutan dipenuhi, Junaid juga kembali memperjelas poin-poin tuntutan buruh yang telah disampaikan langsung di hadapan Bupati Bantaeng, FORKOPIMDA, dan pihak manajemen PT Huadi.
2. Tuntutan kepada PT Huadi Nickel Alloy Indonesia

1. Membayar upah pokok sesuai UMP 2025
Sejak Januari hingga Juni 2025, PT Huadi hanya membayar upah buruh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan yang telah ditetapkan sebesar Rp3.657.527. Hal ini adalah pelanggaran nyata terhadap Keputusan Gubernur Nomor 1423/XII/2024 dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. SBIPE menuntut agar seluruh kekurangan upah pokok segera dibayarkan secara penuh dan tunai.
2. Memberikan kepastian mengenai masa dirumahkan
PT Huadi harus memperjelas berapa lama masa perumahan terhadap buruh. Tidak adanya kejelasan mengenai durasi ini memicu ketidakpastian hidup dan ekonomi di kalangan buruh. Kebijakan sepihak ini juga tidak diiringi dengan dialog sosial bersama buruh atau serikat pekerja, yang seharusnya menjadi prinsip dasar dalam hubungan industrial yang adil.
3. Membayar upah selama masa dirumahkan sesuai UMP 2025
SBIPE menegaskan bahwa buruh yang dirumahkan tetap berhak atas pembayaran upah sesuai ketentuan Pasal 155A UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Tidak ada alasan bagi perusahaan untuk menghindari tanggung jawab pembayaran upah tersebut.
4. Membayar seluruh kekurangan upah lembur
Selama ini, buruh bekerja hingga 12 jam sehari, melebihi batas waktu kerja reguler. Namun PT Huadi tidak membayar upah lembur secara benar dan transparan.
Pemotongan dan penghitungan sepihak oleh manajemen menjadi bentuk pencurian terhadap tenaga dan waktu buruh. SBIPE menuntut audit dan pembayaran penuh atas seluruh kekurangan upah lembur sejak perusahaan beroperasi.
3. Tuntutan kepada pemerintah daerah dan pusat

1. Menjatuhkan sanksi administratif terhadap PT Huadi
SBIPE mendesak Pemerintah Kabupaten Bantaeng, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera memberikan sanksi administratif terhadap seluruh bentuk pelanggaran ketenagakerjaan yang telah terbukti dilakukan oleh PT Huadi. Mulai dari pelanggaran UMP, ketidakpatuhan terhadap standar kerja layak, hingga tindakan sewenang-wenang merumahkan buruh.
2. Membentuk tim pemantauan aset PT Huadi
SBIPE mendesak pemerintah membentuk tim khusus yang bertugas memantau seluruh pergerakan aset PT Huadi. Langkah ini perlu diambil untuk mencegah potensi perusahaan melarikan aset dan meninggalkan tanggung jawab terhadap buruh dan masyarakat Bantaeng. Ini penting agar pemerintah tidak kecolongan sebagaimana pernah terjadi dalam kasus-kasus serupa di sektor industri ekstraktif.
4. Tuntutan kepada institusi kepolisian

1. Memproses laporan SBIPE terkait pemotongan upah pokok dan lembur
SBIPE telah melaporkan dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepada aparat penegak hukum. Kami mendesak agar Kepolisian Resor Bantaeng dan Polda Sulsel segera memproses laporan tersebut secara transparan dan profesional. Pemotongan sepihak terhadap upah pokok dan lembur adalah pelanggaran hukum yang harus diseret ke ranah pidana.
2.Koordinasi dengan pemerintah daerah untuk mencegah larinya perusahaan dari tanggung jawab
Polisi harus aktif berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memitigasi risiko perusahaan kabur dari tanggung jawab. Apalagi PT Huadi belum memberikan jaminan bahwa seluruh kewajiban terhadap buruh dan masyarakat akan dipenuhi. Ini menyangkut keamanan ekonomi ratusan keluarga buruh yang telah menggantungkan hidupnya pada perusahaan ini.
"Aksi yang bertahan hingga hari kesepuluh merupakan bukti perlawanan yang serius terhadap satu perusahaan, sekaligus upaya memutus rantai eksploitasi eksploitasi terhadap buruh. Kami tidak akan berhenti sebelum seluruh hak buruh dipenuhi," kata Junaid.
5. Disnaker Bantaeng pastikan mediasi masih berjalan

Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bantaeng, Irfandi Langgara, menjelaskan bahwa proses mediasi antara perusahaan dengan buruh sebenarnya sudah berjalan cukup panjang. Dia menyebut sebagian besar persoalan PHK telah difasilitasi penyelesaiannya.
"Sebenarnya yang di-PHK kita sudah mediasi. Sebelumnya kan ada namanya bipartit, perundingan antara perusahaan dengan karyawan," kata Irfandi saat dikonfirmasi IDN Times.
Perselisihan upah lembur sempat dimediasi melalui jalur tripartit yaitu melibatkan perusahaan, buruh, dan mediator dari Dinas Tenaga Kerja. Namun, Irfandi mengakui hingga tiga kali pertemuan, kedua pihak tetap gagal mencapai kesepakatan.
"Setelah kita mediasi sampai tiga kali, tidak ada kesepakatan, kita mediator itu memberikan anjuran untuk lanjut di pengadilan hubungan industrial (PHI)," kata dia.
Mediasi ini mencakup persoalan pesangon dan telah dibayarkan. Namun serikat belum menyepakati soal upah lembur. Meski begitu, Disnaker Bantaeng memastikan akan terus mendampingi buruh hingga ada kepastian penyelesaian.
"Kita akan mencari solusi karena posisi kami ini memediasi,mencari solusi terbaik itu pasti. Kami tidak akan tinggalkan persoalan ini. Kami akan tetap mendampingi, memediasi," kata Irfandi.