Dalam hidup ini, sering kali kita diperhadapkan pada kuasa material yang membelenggu kehidupan kita. Kesempatan-kesempatan berkarier kita dihalangi oleh kuasa material itu, padahal kita sudah berusaha setengah mati untuk mencapai karier kita. Karena kuasa material yang menindas, akhirnya karier itu hancur berantakan. Pada sisi lain, manusia beragama didoktrin oleh wacana, bahwa ada takdir yang tak terelakkan yang menyetting kehidupan, tidak hanya manusia, tetapi alam semesta. Pertanyaannya adalah, apa relasi antara kuasa material dengan takdir? Apakah takdir itu mewujud dalam kuasa material, sehingga manusia tidak mempunyai hak untuk mengubahnya? Ataukah justru manusia mempunyai hak untuk mengubah takdir sehingga determinasi kuasa material yang semena-mena harus dilawan? Dengan begitu, apakah perlawanan terhadap kuasa material didefinisikan sebagai melawan takdir?
Dalam teologi, ada tiga mazhab besar yaitu; free will (kehendak bebas), jabariyah atau deterministik, dan jalan tengah (amru bainal amrain). Bagi mereka yang mempunyai cara pandang kehendak bebas berpikir bahwa Tuhan telah memberikan kekebasan kepada manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Batasan-batasan takdir bagi kelompok ini dianggap absurd. Absurditas itu karena manusia akan menerima balasan dari perbuatannya entah itu berupa pahala atau siksa. Sangat absurd bila manusia tidak memunyai pilihan bebas lalu harus diberi pahala atau siksa atas perbuatannya. Jika nasib manusia sudah ditentukan oleh Tuhan lalu mengapa harus diberi pahala atau siksa atas perbuatannya? Bukankah cara berpikir seperti itu berkonsekuensi pada gagasan bahwa perbuatan Tuhan telah dimanisfetasikan kepada manusia dan manusia sisa menjalani takdirnya? Lalu untuk apa manusia mempertanggungjawabkannya?