Ilustrasi. Polisi berjalan melintasi lokasi pembalakan liar di hutan Pegunungan Seulawah, Pemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Sabtu (26/9/2020). ANTARA FOTO/Ampelsa
Menurut kondisi faktual di Desa Balumpewa, Sigi, rendahnya pencapaian target pelaksanaan RA pada objek yang berasal dari kawasan hutan adalah disebabkan sistem penapisan yang rigid. Untuk hutan lindung yang digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, penyelesaiannya cuma resettlement. Artinya, solusi cuma satu, yaitu warga mesti meninggalkan kawasan hutan tersebut dan pelepasan kawasan hutan atau pelaksanaan RA untuk pemanfaatan tanah di luar pertanian tidak dapat dilakukan. Seperti halnya penguasaan tanah oleh rakyat di kawasan hutan konservasi.
Dalam hal ini, wargalah yang diharuskan untuk pergi meninggalkan tanah dalam kawasan hutan konservasi yang dikelolanya selama ini. Pada kawasan hutan lindung masih ada kemungkinan untuk melakukan perubahan batas kawasan hutan, yaitu jika tanah dalam kawasan hutan lindung tersebut digunakan untuk lahan garapan. Namun, hal ini dengan persyaratan bahwa lahan garapan itu telah dikuasai selama lebih dari 20 tahun secara berturut-turut.
Dalam praktiknya, mekanisme pembuktian syarat ini sangat menyulitkan warga. Di sini terlihat bahwa upaya masyarakat untuk mengusulkan pelepasan hutan lindung untuk dijadikan sebagai objek RA terlalu sulit dipenuhi. Ujung-ujungnya, persyaratan yang ketat ini lebih mencerminkan upaya pemerintah untuk mempertahankan status quo luas kawasan hutan lindung.
Agar RA di kawasan hutan benar-benar dapat dijalankan, perlu pola penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan yang fleksibel dan berbasiskan kondisi faktual. Karena solusi tunggal berupa resettlement merupakan masalah sekaligus hambatan. Solusi ini bahkan sangat potensial menimbulkan konflik atau perlawanan yang lebih besar ketika warga yang telah lama mendiami atau hidup di dalam kawasan hutan konservasi dipaksa untuk pindah ke wilayah lain.
Perlu ada kebijakan yang memberi alternatif lain dalam melihat masalah penguasaan tanah di dalam kawasan hutan konservasi, misalnya dengan mempertimbangkan kondisi eksisiting dari fungsi hutan di kawasan hutan konservasi itu sendiri. Perlu juga mempertimbangan konflik yang berada di wilayah tersebut.
Menurut berbagai masalah yang telah dipaparkan, ada sejumlah maka rekomendasi kebijakan yang disarankan dan bersifat urgen untuk segera ditindaklanjuti.
Pertama, perubahan pada sisi kebijakan. Yaitu merevisi beberapa pasal terkait dengan hutan lindung dan konservasi pada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 serta Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 33 tahun 2018. Sebab, terlalu banyak tapisan yang menjadi hambatan untuk melaksanakan RA di kawasan hutan lindung dan konservasi. Kedua regulasi ini perlu direvisi untuk memasukkan berbagai alternatif skema penyelesaian yang beragam sesuai konteks sosio-ekologis yang terjadi pada tanah di kawasan hutan lindung maupun konservasi yang diajukan sebagai TORA.
Khusus untuk kasus Desa Balumpewa di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, perlu segera dilakukan pertemuan para pihak. Yakni untuk merumuskan jalan kemungkinan yang dapat ditempuh agar warga tetap dapat mengakses tanah leluhur mereka di akwasan hutan konservasi dan hutan lindung. Seluruh wilayah perkampungan, tanah garapan dan termasuk wilayah yang menjadi ruang jelajah Topo Inde harus diakui sebagai zona tradisional komunitas ini agar warga terbebas dari segala bentuk ancaman dan rasa takut ketika mengolah tanah.
Proses penetapan zona tradisional sebaiknya partisipatif, melibatkan warga dan tokoh masyarakat. Kebijakan ini bersifat sementara, sembari mendorong percepatan revisi peraturan terkait pengusulan Reforma Agraria di kawasan hutan lindung dan konservasi.