Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Cerita Lebaran: Kehangatan dan Kebersamaan dalam Semangkuk Coto

ilustrasi coto makassar (commons.wikimedia.org/Midori)
Intinya sih...
  • Idul Fitri adalah momen terbaik untuk merendahkan hati dan memaafkan orang lain.
  • Lebaran mengajarkan pentingnya menjaga lisan dan mendengar dengan hati dalam interaksi sosial.
  • Makanan Lebaran bukan hanya hidangan, tetapi juga medium untuk merajut kembali hubungan yang sempat renggang.

Sebelas bulan terakhir, hidupku penuh dengan berbagai macam dinamika. Tentu ada tawa yang tercipta dalam kebersamaan, namun adapula perdebatan yang menguras emosi. Relasi dengan teman, keluarga, hingga rekan kerja pun juga tak selalu mulus. Terkadang, kata-kata bisa terlontar begitu saja tanpa dipikirkan dahulu, sikap keras kepala sering membuat hati orang lain terluka, atau kesalahpahaman kecil dapat berkembang menjadi jurang yang sangat sulit dijembatani.

Pada satu momen tertentu, saya berselisih paham dengan seorang sahabat. Kami berdua sama-sama merasa benar, tak ada yang mau mengalah. Komunikasi memburuk, serta hubungan kami terasa jauh. Hari demi hari berlalu, dan ego masih tetap bertahan. Namun, ketika Lebaran tiba, semua kebekuan itu perlahan-lahan mencair.

Idul Fitri lebih dari sekadar perayaan

Ilustrasi salat Eid (Unsplash.com/@apyfz)

Idul Fitri bukan hanya sekadar sebuah perayaan, tetapi juga perihal merendahkan hati. Saya benar-benar memberanikan diri mengulurkan tangan lebih dulu. "Maafkanlah aku lahir serta batin," ucap saya dengan agak sedikit canggung. Ia tersenyum lega, dan tanpa ragu sedikit pun membalas, "Aku juga minta maaf." Seperti itu saja, segala beban yang selama ini menggumpal perlahan mulai luruh. Saya menyadari sepenuhnya bahwa memaafkan bukan hanya untuk orang lain, tapi juga untuk diri sendiri—agar hati lebih ringan melangkah ke depan.

Lebaran juga mengajarkan kepada saya pentingnya menjaga lisan. Alangkah banyak derita yang tersembunyi muncul dari perkataan. Dalam interaksi sosial yang tidak selalu gampang, saya sadar bahwa lebih baik membisu daripada mengatakan hal yang dapat menyakiti. Akan lebih baik jika kita mendengar dengan hati. Jangan terburu-buru dalam menghakimi sesuatu.

Usai saling bermaafan, suasana pun berubah. Kami duduk bersama di ruang makan, menikmati sajian khas Lebaran yang sejak pagi tersaji di meja. Uap hangat dari mangkuk coto Makassar yang baru saja disendok menambah kehangatan suasana. Saya dan sahabat saya, yang sebelumnya kaku dalam diam, mulai bercanda kembali. Sepotong ketupat yang saya ambil terasa lebih nikmat bukan hanya karena rasanya, tetapi karena beban hati yang kini terasa lebih ringan.

Saya menyadari bahwa makanan yang disajikan di hari Lebaran bukan sekadar hidangan, tetapi juga medium untuk merajut kembali hubungan yang sempat renggang. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kebersamaan, dalam berbagi makanan dan cerita. Seolah-olah, dengan setiap suapan, perasaan yang sempat terluka ikut diperbaiki. Kami tertawa, mengenang momen-momen baik, dan perlahan mulai berbicara tentang hal-hal yang akan kami lakukan bersama ke depannya.

Di hari Idul Fitri 1446 H ini, saya memahami bahwa hubungan yang tulus bukanlah yang tanpa konflik, melainkan yang selalu menemukan jalan untuk saling memaafkan. Tak perlu menunggu siapa yang salah atau benar, tak perlu menimbang siapa yang harus memulai lebih dulu. Yang penting adalah keberanian untuk melangkah dan merangkul kembali.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us