Minahasa, Tanah Pengasingan Tawanan Perang Kompeni Belanda

Kyai Modjo membangun Kampung Jaton (Jawa Tondano) Minahasa

Manado, IDN Times – Sejak tahun 1830, wilayah Minahasa di Sulawesi Utara (Sulut), menjadi salah satu tempat pilihan pemerintah kolonial Belanda untuk mengasingkan para pemimpin perang dari berbagai daerah di Nusantara.

Memang, pada abad ke-19 perlawanan terhadap kolonialisme kian bergelora lantaran semakin ekspansifnya kompeni Belanda. Umumnya, peperangan yang terjadi bersifat kedaerahan dan banyak pemimpinnya yang ditangkap Belanda.

Beberapa di antaranya adalah pimpinan Perang Jawa, Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo serta pimpinan Perang Pandri, Tuanku Imam Bonjol yang kemudian diasingkan ke Minahasa.

Dosen Sejarah Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Roger Allan Kembuan, menyebut Minahasa dipilih Belanda karena lokasinya yang jauh dan terpencil.

“Jauh dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang menyulitkan tahanan perang kembali ke kampung halaman,” jelas Roger kepada IDN Times di Manado, Minggu (6/3/2022).

1. Awal pengasingan Kyai Modjo hingga terbentuknya Kampung Jaton

Minahasa, Tanah Pengasingan Tawanan Perang Kompeni BelandaKompleks pemakaman Kyai Modjo di Kelurahan Wulauan, Kecamatan Tondano Utara, Minahasa, Sulawesi Utara. IDN Times/Savi

Orang pertama yang mencicipi tanah Minahasa adalah Kyai Modjo bersama 62 pengikutnya yang diasingkan di Tondano. Awalnya, Kyai Modjo berperang bersama Pangeran Diponegoro melawan Belanda di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Namun, sejak kekalahan keduanya di Gawok, Sukoharjo, Jawa Tengah, hubungan mereka menjadi renggang. Dalam kekalahan tersebut, Kyai Modjo berinisiatif berunding dengan Belanda, yang ternyata tidak disetujui oleh Pangeran Diponegoro.

Sejak hubungan mereka renggang, Kyai Modjo terus berusaha berunding dengan Belanda hingga akhirnya ia dan pasukannya ditangkap di Babadan, Klaten, Jawa Tengah. Dari situ, mereka dibawa ke Batavia untuk menunggu keputusan lokasi pengasingan.

“Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Van den Bosch, Kyai Modjo diasingkan ke dalam 2 tahap, yaitu dibawa ke Makassar dilanjutkan ke Ambon, kemudian dikirim ke Manado,” terang Roger.

Akhirnya, Kyai Modjo bersama 62 pengikutnya tinggal di Tondano. Kebanyakan dari mereka kemudian memilih menikah dengan perempuan Minahasa sehingga membentuk keluarga dan masyarakat baru yang sekarang dikenal dengan Jawa Tondano (Jaton).

2. Pangeran Diponegoro sempat diasingkan di Manado selama 3 tahun

Minahasa, Tanah Pengasingan Tawanan Perang Kompeni BelandaMakam Tuanku Imam Bonjol di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. IDN Times/Savi

Setelah beberapa bulan lari dari kejaran Belanda, Pangeran Diponegoro memutuskan berunding di Magelang pada sekitar Februari 1830. Dalam perundingannya dengan Belanda, Pangeran Diponegoro didampingi oleh dua punakawannya, yaitu Bantengwareng dan Djojosuroto.

Dalam perundingan tersebut ketiga ditangkap dan dibawa ke Semarang sebelum berlanjut ke Batavia. Di Batavia, Vanden Bosch memutuskan mengasingkan Diponegoro ke Manado. Saat mendengar pengasingan ke Manado, para penasihat Diponegoro dan istrinya menolak ikut.

Akhirnya, Diponegoro ditemani oleh para punakawan beserta keluarga mereka yang berjumlah 19 orang. Di Manado, Diponegoro ditempatkan di sebuah gedung yang berada di Benteng Nieuw Amsterdarm.

“Pangeran Diponegoro hanya 3 tahun di Manado dan kemudian dipindahkan ke Makassar pada tahun 1833 karena ia melakukan korespondensi terlarang dengan seorang perwira Belanda, Mayor Jenderal Jan Baptist Cleerens," kata Roger.

Setelah 6 tahun tinggal di Manado, sebagian besar punakawan Diponegoro beserta keluarga dipindahkan ke Tondano pada tahun 1839 dan bergabung dengan rombongan Kyai Modjo. Hanya tersisa empat punakawan yang setia mendampingi Diponegoro hingga akhir hayatnya di Makassar.

3. Sempat diasingkan ke Ambon, Tuanku Imam Bonjol pun berakhir di Minahasa

Minahasa, Tanah Pengasingan Tawanan Perang Kompeni BelandaMakam Tuanku Imam Bonjol di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. IDN Times/Savi

Pemimpin Perang Padri, Tuanku Imam Bonjol juga diasingkan ke Minahasa usai kekalahannya. Awalnya, Imam Bonjol beserta ketiga pengikutnya yaitu anak tertuanya, Sultan Saidi; kemenakannya, Abdul Wahid; dan orang kepercayaannya, Baginda Tan Labih diasingkan di Ambon, Maluku.

Saat perpanjangan kontrak rumahnya ditolak, Imam Bonjol mendapatkan saran dari pihak Belanda untuk pindah ke Manado. Awalnya, Imam Bonjol setuju dengan ide tersebut. Namun ketika diberitahu oleh seorang Letnan Melayu bahwa Manado bukan negeri Islam dan banyak babi berkeliaran, Imam Bonjol mengurungkan niatnya.

Sayangnya, penolakan yang ia ajukan terlambat. Surat kepindahan sudah ditandatangani oleh Gubernur Maluku dan kapal siap berangkat. Akirnya Imam Bonjol dan ketiga pengikutnya terpaksa tetap berangkat.

Sebelum benar-benar menetap di Desa Lotta, Pineleng, Minahasa, Imam Bonjol telah berkali-kali pindah. “Awalnya, ia tinggal di Kombi yang sekarang lebih dikenal dengan daerah Tondano pantai. Karena tak tahan cuaca dingin, akhirnya rombongan Imam Bonjol dipindahkan sementara ke Koka,” kata Roger.

Di Koka, pengikut Imam Bonjol sempat menikahi perempuan Minahasa dan berkeluarga. Ketika tiba waktu kepindahan, para pengikutnya dilarang ikut, sehingga hanya Imam Bonjol yang pindah ke Desa Lotta.

Di Desa Lotta, ia didampingi oleh Kopral Belanda, Apolos Minggu hinga akhir hayatnya pada tahun 1852.

Baca Juga: Tombolotutu, Tokoh Pejuang Sulteng yang Jadi Pahlawan Nasional

4. Minahasa tak lagi menjadi tempat pengasingan sejak 1905

Minahasa, Tanah Pengasingan Tawanan Perang Kompeni BelandaMakam Tuanku Imam Bonjol di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. IDN Times/Savi

Selain ketiga nama besar di atas, ada beberapa orang lainnya yang juga diasingkan ke Minahasa seperti Tuanku Muhammad Batee, Raden Syarif Abdullah Assegaf, Kyai Hasan Maulani, dan lain-lain.

Roger menyebut, pemilihan Minahasa sebagai tempat pengasingan oleh Belanda adalah karena lokasinya yang terpencil. “Pengasingan Kyai Modjo dan rombongannya dianggap sukses karena mereka tidak ke mana-mana dan memilih menetap,” tambah Roger.

Orang Minahasa sendiri dianggap berhasil menjadi mitra Belanda karena banyak yang menjadi Tentara Belanda atau Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL). Hal ini membuat penjagaan tahanan perang oleh Belanda di Minahasa menjadi lebih ketat

Di sisi lain, Roger mengungkapkan, berdasarkan arsip sejarah, mulai tahun 1905 sudah tidak ada tahanan perang yang diasingkan ke Minahasa. Hal tersebut karena Manado sudah terlibat perdagangan bebas dengan daerah lain, sehingga pelabuhan menjadi lebih terbuka. “Dikhawatirkan tahanan bisa kabur kapan saja, sehingga pengasingan ke Minahasa sudah dianggap tidak efektif” kata Roger.

Pasca-tahun 1905, Belanda lebih memilih mengasingkan tahana perang di Boven Digoel, Papua yang lokasinya dianggap lebih jauh dan terpencil dari Minahasa.

Baca Juga: Jalan Panjang Pengasingan Tuanku Imam Bonjol dari Padang ke Minahasa

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya