Material Aluvium di Pesisir Amurang Diduga Menjadi Penyebab Abrasi

Material aluvium tak kuat menahan beban

Manado, IDN Times – Sudah hampir satu minggu berlalu sejak abrasi pesisir Amurang, Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara (Sulut) terjadi. Hingga kini, baik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) belum secara resmi mengungkapkan penyebab dari abrasi tersebut.

Dosen Geologi Universitas Prisma Manado, Agus Santoso Budiharso, menyebut bahwa pesisir Amurang memang wilayah yang rawan bencana. Pesisir Amurang dari Sungai Ranoyapo merupakan wilayah yang tersusun dari material aluvium.

“Asal muasal material aluvium tersebut dari Gunung Soputan yang berada di Timur Laut Minsel. Material erupsi gunung terbawa oleh Sungai Ranoyapo dan sungai-sungai lain di sekitar Amurang hingga mengendap di pesisir Amurang,” jelas Agus, Selasa (21/6/2022).

1. Material aluvium tidak kuat menahan beban

Material Aluvium di Pesisir Amurang Diduga Menjadi Penyebab AbrasiDosen Geologi Universitas Prisma Manado sekaligus Ahli Geospasial Sulut, Agus Santoso Budiharso. IDNTimes/Istimewa

Material aluvium sendiri bukan merupakan material yang kuat seperti batuan karena masih berbentuk pasir. Hal tersebut menyebabkan material aluvium mudah terurai ketika terkena air.

“Ditambah lagi, secara topografi pesisir Amurang memiliki kedalaman 30-50 meter, lalu tiba-tiba langsung tubir yang kedalamannya bisa sampai 500 meter. Tubir itu materialnya masih pengaruh dari material aluvium,” tambah Agus.

Kemudian arus air di pesisir Amurang sangat kuat karena berbentuk teluk. Akibat dari tekanan dan arus laut yang kuat, material penyangga pesisir Amurang kemungkinan besar jadi berongga. Material yang berongga tersebut tidak mampu menahan beban bangunan di atasnya.

2. Pesisir Amurang juga rawan likuefaksi

Material Aluvium di Pesisir Amurang Diduga Menjadi Penyebab AbrasiWarga mengevakuasi barang-barang pasca abrasi pesisir Amurang, Minahasa Selatan, Kamis (16/6/2022). IDNTimes/Ungke Pepotoh/bt

Agus mengatakan, berdasarkan penelitian dari Direktorat Jenderal Biologi Tata Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sepanjang pesisir Amurang termasuk daerah rawan likuefaksi yang tinggi. Meski begitu, kejadian minggu lalu bukan likuefaksi.

“Faktor lainnya, Sungai Ranoyapo sendiri merupakan jalur sesar aktif sehingga Teluk Amurang rawan bencana abrasi dan likuifaksi,” ujar Agus.

Untuk itu, rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) daerah harus memperhatikan potensi bencana yang ada. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan, sebaiknya direlokasi untuk menghindari potensi bencana di kemudian hari.

Baca Juga: 20 Rumah Hanyut karena Abrasi Pantai Amurang, Warga Mengungsi

3. Relokasi harus perhatikan akses masyarakat

Material Aluvium di Pesisir Amurang Diduga Menjadi Penyebab AbrasiSituasi posko tanggap darurat di Kantor Kelurahan Lewet, Amurang, Minsel, Jumat (17/6/2022). IDNTimes/Savi

Sebagai mitigasi bencana, Agus menyebut masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan. “Kalau ada yang melihat hal-hal mencurigakan misalnya ada reruntuhan material, harus segera dilaporkan ke warga lain agar bisa didiskusikan,” sambung Agus.

Kedepannya, pemerintah juga perlu menetapkan batas wilayah yang tidak boleh dihuni. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sempadan pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah pantai.

“Yang diperbolehkan di sempadan pantai itu misalnya pelabuhan, tapi kalau pemukiman sebaiknya tidak di sempadan pantai,” ucap Agus.

Jika pemerintah hendak merelokasi warga, sebaiknya tetap mempertimbangkan akses karena sebagian besar masyarakat pesisir Amurang berprofesi sebagai pedagang. Kemudian, daerah yang tidak boleh dihuni bisa dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau sebagai daerah penyangga.

Baca Juga: Abrasi Pesisir Amurang Minahasa Selatan, 266 Warga Mengungsi

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya