Kasus Inses di Sulawesi Utara Disorot, Masyarakat Perlu Edukasi

Ketidakpedulian masyarakat menjadi salah satu faktor

Manado, IDN Times – Kasus inses yang terjadi di Desa Kombi, Kecamatan Kombi, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, sempat menggegerkan masyarakat. Kini, kedua korban, A dan Y, sudah didampingi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Minahasa.

Di sisi lain, pelaku, Herman Matheos (52), masih ditahan di Polres Minahasa. Kepala UPTD Perempuan dan Anak Sulut, Marsel Silom, mengatakan bahwa masih banyaknya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Sulut disebabkan oleh berbagai faktor.

“Ada faktor ekonomi, pendidikan, dan lain-lain, pokoknya sangat kompleks. Pelaku kebanyakan adalah orang terdekat,” terang Marsel, Rabu (10/5/2023).

Baca Juga: Heboh Lelaki Minahasa Hamili Anak Kandung dan Anak Hasil Insesnya

1. Tak ada perda perlindungan perempuan dan anak di Sulut

Kasus Inses di Sulawesi Utara Disorot, Masyarakat Perlu EdukasiKantor DPRD Sulawesi Utara di Jalan Manado-Bitung, Kairagi Satu, Manado, Sulawesi Utara. IDNTimes/Savi

Staf Database LSM Swara Parampuang, Nurhasanah, mengaku mendapat penyangkalan dari berbagai pihak ketika menyosialisasikan tentang tingginya kasus kekerasan perempuan dan anak di Sulut. “Padahal Sulut kesetaraan gendernya sudah kelihatan, egaliter gitu, laki-laki dan perempuan setara,” ucap Nurhasanah.

Hal tersebut dibuktikan dari banyaknya pejabat perempuan di lingkungan pemerintahan provinsi, kabupaten/kota, hingga lembaga legislatif. Namun, hal tersebut menjadi sebuah ironi karena keberadaan perempuan pada suatu jabatan nyatanya tidak menciptakan aturan yang berpihak kepada perempuan dan anak.

“Faktanya tidak ada aturan-aturan yang memberikan perlindungan kepada perempuan, baik secara umum maupun korban kekerasan,” sambung Nurhasanah.

2. Faktor ketidakpedulian masyarakat

Kasus Inses di Sulawesi Utara Disorot, Masyarakat Perlu EdukasiPelaku pemerkosaan dua anak kandungnya di Desa Kombi, Minahasa, Sulawesi Utara. IDNTimes/Dok. Unit PPA Polres Minahasa

Yang cukup mengagetkan dari terjadinya inses di Desa Kombi adalah tertutupnya kasus tersebut selama belasan tahun. Padahal, kasus itu  diperkirakan terjadi pada awal tahun 2000-an. Dikabarkan masyarakat sudah lama curiga, namun tak ada yang berani melapor.

Nurhasanah tak menampik bahwa ketidakpedulian masyarakat menjadi salah satu faktor tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulut. Namun, ketidakpedulian masyarakat bukan tanpa sebab.

Menurut Nurhasanah, hal tersebut karena kurangnya edukasi dan sosialisasi dari pemerintah tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Bahkan ketika masyarakat sedang mengalami krisis ekonomi misalnya, kita sudah sibuk dengan diri masing-masing,” tambah Nurhasanah.

3. Kekerasan seksual bukan soal moralitas

Kasus Inses di Sulawesi Utara Disorot, Masyarakat Perlu Edukasiilustrasi kekerasan (IDN Times/Nathan Manaloe)

Kebanyakan masyarakat masih menganggap bahwa kasus kekerasan seksual merupakan soal moralitas. Padahal, kekerasan seksual merupakan sebuah kejahatan yang pelakunya bisa dihukum.

Masyarakat masih berpikir bahwa kekerasan seksual terjadi di ranah privat, yang merupakan urusan keluarga masing-masing.

“Jangan bilang ketika melakukan itu (kekerasan seksual) dosa dia, tanggung sendiri, bukan itu. Bukan soal dosa atau urusan dia dengan Tuhan. Ini soal masa depan manusia yang sudah jelas Undang-Undangnya yang itu soal kejahatan, siapa saja bisa melaporkan,” tutur Nurhasanah.

4. Sosialisasi perlu hingga ke tokoh agama

Kasus Inses di Sulawesi Utara Disorot, Masyarakat Perlu EdukasiIlustrasi - Tokoh agama dalam kegiatan Orientasi Gerakan 1.000 Tokoh Agama Edukator COVID-19 di Swiss-Belhotel, Senin (27/7/2020). (Humas Pemprov Sulsel)

Selama ini, Nurhasanah menganggap pemerintah masih berkutat pada pembentukan keluarga ideal untuk mencegah kekerasan seksual. Padahal tak bisa dipungkiri bahwa banyak keluarga yang kondisinya tidak ideal baik dari segi ekonomi, sosial, hingga pendidikan.

Ia meminta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota lebih menggalakkan sosialisasi perlindungan perempuan dan anak ke kepala lingkungan hingga tokoh agama. Nantinya, tokoh agama diharapkan tidak hanya sekadar memberi imbauan, tetapi juga menyampaikan bahwa kekerasan adalah sebuah kejahatan.

“Memang ada ketidakpedulian warga, tapi karena tidak sadar, bahwa mereka menganggap itu (kekerasan) bukan sebuah kejahatan tapi moral, urusan agama. Makanya mereka menyandarkan bahwa itu urusan tokoh agama, misalnya. Itu juga menjadi sorotan, berarti tokoh agama juga harus diberi pengertian,” kata Nurhasanah.

Baca Juga: Marak Kasus Kekerasan Seksual, Sulawesi Utara Belum Punya Perda Khusus

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya