Nahebiti 2023: Menjaga Suara-Suara Korban HAM Terus Menggaung

HAM, Makarti, dan sejarah kelam konflik Timor Timur

Makassar, IDN Times - Ruang konsolidasi untuk terus menjaga suara-suara korban pelanggaran HAM masa lalu terus dibuka. Salah satunya yang dilakukan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi dan Asia Justice and Rights (AJAR), melalui bedah buku Makarti: Beranjak dari Masa Lalu Menuju Harapan Tak Bertepi. Acara tersebut berlangsung di Rumata’ Art Space Makassar, pada Sabtu kemarin (19/8/2023).

“Tajuknya adalah menolak redam, kami berharap suara-suara korban ini terus menggaung di udara supaya ia tetap menjadi upaya untuk menyampaikan bahwa ada, lho, pelanggaran HAM yang tidak dilirik oleh negara selama bertahun-tahun, bahkan berdekade-dekade” ungkap Nur Wahid, salah satu penulis buku, saat diwawancara.

1. Konflik militer melahirkan nestapa untuk ribuan anak-anak Timor Timur

Nahebiti 2023: Menjaga Suara-Suara Korban HAM Terus MenggaungFoto poster sejarah konflik Timor Timur/Amelia

Buku tersebut berfokus pada saat konflik militer di Timor Timur (kini Timor Leste) yang terjadi dalam rentan waktu 24 tahun. Saat itu ada sekitar 4.000 anak yang dibawa, dipindahkan, dan diculik secara paksa dari keluarganya selama konflik. Mereka kemudian dipindahkan dan disebar di berbagai wilayah di Indonesia.

“Sebagai gambaran, labarik lakon ini dalam bahasa Tetun itu artinya ‘anak hilang.’ Mereka ini anak-anak yang diculik ataupun dibawa secara paksa oleh militer TNI di periodisasi konflik dan invasi militer Indonesia di Timor Leste tahun 1975-1999, mereka semua yang datang merupakan labarik lakon (komunitas stolen children),” jelas Nur Wahid.

2. Ketakutan masyarakat Desa Makarti masih berlanjut hingga sekarang

Nahebiti 2023: Menjaga Suara-Suara Korban HAM Terus MenggaungKumpulan dokumentasi kegiatan masyarakat Makarti/Fadhil Muhammad

Meski sudah tinggal di Indonesia, namun sampai saat ini mereka belum diberikan hak atas kepemilikan tanah. Semua yang dijanjikan ternyata menguap dan entah kapan menjadi nyata. Hal ini menjadi ketakutan utama masyarakat Makarti di Luwu Timur. Ancaman yang paling nyata adalah perusahaan tambang yang sewaktu-waktu bisa mengambil alih lahan mereka.

“Yang kami takutkan dari generasi ketiga, bahwa tambang-tambang yang ada di Makarti, mereka nanti akan membuka lahan di belakang rumah kami,” ungkap Abdul Salam atau kerap disapa Dom, seorang pemuda Makarti.

“Kami takutnya mereka akan membuka tambang lagi di atas gunung bagian dekat rumah kami,” imbuhnya.

Lebih jauh, Dom juga menceritakan bahwa anak-anak Timor Leste di Makarti masih dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Beberapa diskriminasi mereka alami, salah satunya kesulitan mencari kerja.

“Kami dianggap rendah, pekerjaan yang diberikan kepada kami di sana hanyalah berupa cleaning service, menjahit, padahal curriculum vitae (CV) yang kami berikan bukan untuk pekerjaan seperti itu. Kami bisa lebih dari itu, ini tanah kami,” tutur Dom. "Bahkan ketika salah satu teman kami yang sedang membersihkan ruangan mereka, didapatinya curriculum vitae (CV) kami berada di keranjang sampah. Tidak satu pun dari mereka yang membacanya, mereka memang senang merendahkan kami, penduduk asli,” sambungnya.

Baca Juga: KontraS Sulawesi: Komcad TNI Berpotensi Menimbulkan Konflik Horizontal

3. Nahebiti 2023 jadi cara stolen children untuk terus bersuara

Nahebiti 2023: Menjaga Suara-Suara Korban HAM Terus MenggaungFoto mading harapan Labarik Lakon/Amelia

Lantas bagaimana cara penduduk Makarti menyiasatinya? Dom menjelaskan, bahwa semua pemuda-pemudi diupayakan selalu berkumpul dalam satu kelompok. Tujuannya agar bisa bersama-sama bekerja dan mendapatkan penghasilan di tempat sendiri tanpa harus bepergian jauh.

“Kenapa mereka harus keluar jauh jauh seperti di Morowali, Makassar, Kalimantan, untuk bekerja padahal di kampung sendiri ada yang namanya tambang CLM,” ungkap Dom.

“Kita sudah jauh-jauh dari Timor Leste. Orang tua sudah jauh-jauh dari sana sampai di sini menjadi pengungsi. Kita bisa temani mereka bekerja di sini. Kenapa harus jauh jauh keluar ke kampung orang padahal di kampung sendiri banyak penghasilan,” lanjutnya..

Bagi Dom dan puluhan penduduk lain yang hadir dalam acara tersebut, Makarti bukan lagi hanya sekadar nama desa. Bagi mereka, Makarti adalah sebuah kisah, sebuah pengorbanan, juga sebuah perjuangan menuju keadilan. Meskipun terasa pahit, tapi tetap ada harapan yang dijaga.

Bagi sebagian orang tua warga Makarti, sejarah kelam konflik Timor Timur menyisakan pedih yang tidak ingin diceritakan ke anak-anak.

"Mereka tidak ingin menjawabnya ‘kalian tidak perlu tahu, yang sudah terjadi, itu adalah masa lalu kami’,” kata Dom, menirukan jawaban yang selalu ia dapatkan saat bertanya tentang masa lalu stolen children.

“‘Kalian hanya perlu melanjutkan perjuangan agar kita penduduk asli bisa mendapatkan hak yang sesuai.’ Itu ujar salah satu dari orang tua kami,” tutup Dom.

 

Penulis : Fadhil Muhammad dan Amelia

Baca Juga: KontraS: UU Cipta Kerja Kesampingkan Hak-hak Kelas Pekerja

Pra.Kataaa Photo Community Writer Pra.Kataaa

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya