Samporoa Mombine, Ruang Ramah Perempuan Penyintas Bencana Alam Sulteng

Rentetan kasus KBG dan anak buntuti masalah pascabencana

Palu, IDN Times – Bencana alam yang melanda empat daerah sekaligus, di Palu, Sigi, Donggala, hingga Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah, tanggal 28 September 2018 silam, memicu permasalahan lain. Tindakan pelecehan seksual hingga kekerasan fisik acap kali dialami oleh perempuan penyintas bencana.

Sejumlah laporan pelecehan seksual khusus yang menimpa kaum perempuan terjadi pascabencana 28 September 2018. Terkhusus di lingkungan huntara Palu, Sigi, dan Donggala.

Dibangunnya hunian sementara (huntara) bagi mereka yang tempat tinggalnya lenyap imbas bencana alam, pun menjamur didirikan oleh lintas sektor. Dengan alasan sebagai pelindung sementara dari teriknya panas matahari serta guyuran hujan. Namun ternyata huntara belum mampu menyelesaikan sederet persoalan lain di tengah kehidupan warga huntara yang dipicu gempa bumi 7,4 skala ritcher itu.

Bergeser ke Kelurahan Duyu, Kecamatan Palu Tatanga, Kota Palu, berdiri sebuah hunian dengan luas sekitar 6x12 meter. Bangunan bermodel rumah komplesk itu difungsikan sebagai ruangan pusat informasi dan peningkatan kapasitas perempuan penyintas bencana alam Padagimo.

Tak hanya itu, sekretariat tepat berseberang dengan gedung SMK 4 Palu ini menerima dan berupaya menyelisik pengaduan kasus kekerasan berbasis gender (KBG).

Adalah Ruang Ramah Perempuan bernama ‘Samporoa Mombine’. Diserap dari bahasa suku di Palu yaitu Kaili berumpun Ledo, Samporoa berarti kelompok dan Mombine adalah perempuan, diharapkan mampu melerai permasalahan vital menyangkut perempuan.

1. Latar belakang pembentukan Samporoa Mombine

Samporoa Mombine, Ruang Ramah Perempuan Penyintas Bencana Alam SultengIDN Times/M. Faiz Syafar

YAPPIKA-ActionAid (YAA) adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) nasional yang bermitra dengan Sikola Mombine, LSM Sulawesi Tengah, sebagai penggagas Samporoa Mombine. YAA sejak dua tahun terakhir membantu penanganan situasi darurat, melalui kerja sama dengan mitra lokal, hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah 2018 silam

Dibangun sejak Juli 2019, Samporoa Mombine tak hanya berfokus mengangkat isu KBG, tetapi juga berbagai aktivitas untuk para perempuan seperti pelatihan mitigasi bencana alam, pemahaman gender, pelatihan konseling dasar dan paralegal, serta pengasuhan anak.

“Melalui Samporoa Mombine ini, strategi penguatan kapasitas perempuan dan ibu-ibu dilakukan melalui peningkatan pengetahuan mengenai hak dan perlindungan terhadap perempuan dan anak,” kata Stella Anjani selaku Psychosocial Support-Protection Officer YAA, Minggu (23/8/2020).

YAA melalui ruang ramah perempuan Samporoa Mombine bermitra dengan organisasi Sikola Mombine di Palu, turut melibatkan pihak Kelurahan Duyu, lembaga adat setempat, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Palu.

“Hal ini diupayakan untuk mendekatkan akses layanan pengaduan kasus KBG terhadap korban,” ujar Stella.

2. Puluhan kasus kekerasan perempuan dan anak tercatat usai bencana melanda

Samporoa Mombine, Ruang Ramah Perempuan Penyintas Bencana Alam SultengIDN Times/M. Faiz Syafar

Per Maret 2020, Samporoa Mombine telah menerima dan mengadvokasi 41 kasus KBG dan kekerasan terhadap anak hasil catatan YAA, melalui Sikola Mombine sebagai lembaga yang intens menangani masalah kelompok rentan.

Angka tersebut ternyata terus bertambah mengacu data milik Sikola Mombine. Sebanyak 55 kasus kekerasan kelompok rentan (KKR) berada di bulan Juli 2020, dengan rincian 23 kasus menyasar kalangan anak-anak (laki-laki dan perempuan) dan 32 kasus di usia dewasa (semua terjadi pada perempuan). Mirisnya, dari angka itu korban jika dari sisi jenis kelamin yakni perempuan sangat berbeda jauh dengan laki-laki yaitu 48 berbanding 7.

Untuk golongan kasus, pelecehan berada di peringkat teratas dengan angka 22 kasus, diikuti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 16, pemerkosaan 1 kasus serta pernikahan anak di bawah umur 5 kasus.

“Masih ada 11 kasus sisanya (dari data tersebut), yang identifikasinya terlalu umum jadi belum bisa dihitung sebagai 4 kategori lainnya (apakah KDRT/Pelecehan/Perkosaan/Pernikahan Anak),” Stella membeberkan.

Seluruh perkara terjadi berkaitan erat dengan dampak bencana alam seperti yang terjadi hampir dua tahun lalu ini, belum lagi imbas wabah pandemik virus corona turut andil memperkeruh masalah tersebut.

Baca Juga: JMK-Oxfam Ajak Jurnalis Sulteng Peka Isu Gender dalam Pemberitaan

3. Kerja sama antar pihak jadi tumpuan melerai permasalahan gender

Samporoa Mombine, Ruang Ramah Perempuan Penyintas Bencana Alam SultengIDN Times/M. Faiz Syafar

Program Officer sektor Protection dari Sikola Mombine, Fiany Rizki mengatakan pihaknya dibantu beberapa lembaga mitra sedang menangani satu kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) melalui tahap mediasi. “Ada yang lainnya hanya sampai tahap konseling, ada juga yang sampai tahap hukum. Namun, belum semua ter-update lagi (sampai sekarang,” katanya.

Selanjutnya melalui Samporoa Mombine di Kelurahan Duyu, diharapkan mampu menjangkau seluruh permasalahan kasus kelompok rentan dengan tiga wilayah fokus dampak bencana 28 September 2018, hingga menargetkan mampu menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut.

Stella Anjani menyebut, pihaknya membutuhkan kerja sama yang baik mulai dari tingkat kelurahan, guna memfasilitasi pertemuan untuk membangun mekanisme rujukan kasus KBG dan anak, keterlibatan lembaga adat, dan instansi pemerintah terkait yaitu DP3A.

Baca Juga: Ratusan Penyintas Likuefaksi Petobo Palu Unjuk Rasa di DPRD Sulteng

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya