WALHI Sulteng Respons Pidato Jokowi soal Hilirisasi Tambang Nikel

WALHI Sulteng sebut Jokowi tak singgung kerusakan lingkungan

Makassar, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah (Sulteng), merespons Pidato Kenegaraan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo, dalam rangka Hari Kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia. WALHI Sulteng menilai, pidato Presiden tidak menyentuh sama sekali isu-isu penyelamatan rakyat dan lingkungan, justru malah mendorong terus investasi berbasis ekstraktif seperti hilirisasi nikel dan kendaraan listrik. Padahal, kerusakan ruang hidup rakyat disebabkan oleh kebijakan yang melanggengkan industri-industri ekstraktif tersebut.

WALHI Sulteng menilai, banyak kerusakan lingkungan terjadi di wilayah-wilayah industri ektraktif ini, khususnya di Sulteng, yang juga sebagai sentral industri hilirisasi pertambangan nikel di Indonesia. Terdapat tiga kawasan megaproyek industri nikel di Sulteng, antara lain Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Kawasan Industri Gunbuster Nickel Industri (GNI), dan Kawasan Industri Baoshou Taman Industri Invesment Group (BTIIG).

“Pidato Presiden Jokowi sangat mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap padat modal. Kerusakan lingkungan di seluruh wilayah Sulawesi Tengah akibat rakus tambang tak menjadi hal penting yang direspon oleh seorang pimpinan negara," kata Aulia Hakim, Kepala Advokasi & Kampanye WALHI Sulteng, dalam keterangan persnya, Kamis (17/8/2023).

Padahal, menurut Aulia, dampak dari industri ekstraktif ini telah dirasakan rakyat Sulteng, khususnya di daerah-daerah industri tambang nikel, seperti Morowali, Morowali Utara, dan Banggai. Sumber wilayah kelola dan kesehatan para nelayan, petani, dan warga lokal telah terganggu, "Serta jaminan kelayakan kesehatan dan upah bagi pekerja tambang juga dieksploitasi secara teres menerus” sambung Aulia.

1. Pertambangan nikel menyumbang jutaan ton emisi

WALHI Sulteng Respons Pidato Jokowi soal Hilirisasi Tambang NikelIlustrasi (pixabay.com)

WALHI Sulteng menilai Presiden Jokowi tidak merespons masalah-masalah yang tengah dihadapi rakyat, malah lebih memilih mendorong hilirisasi nikel dan percepatan kendaraan listrik, dengan dukungan regulasi yang pro terhadap padat modal, kemudian diklaim sebagai capaian besar negara dalam pertumbuhan ekonomi di mata dunia. 

Hal ini, menurut Aulia, berbanding terbalik dengan upaya pemerintah mengatasi polusi udara dengan mendorong kendaraan listrik, "Tentu ini semakin menunjukkan kegagalan pemahaman Presiden tentang tingginya timbulan emisi dan ancaman kerusakan lingkungan yang dihasilkan dari hilirisasi nikel sebagai salah satu komponen dalam pembuatan baterai kendaraan listrik," ucap Aulia.

Dalam catatan WALHI, dari sejuta hektare lebih konsesi pertambangan nikel yang telah diberikan oleh pemerintah, setidaknya 50 juta ton emisi setara CO2 akan dilepaskan ke atmosfer akibat perubahan tutupan lahan. Sementara dalam proses produksinya, jumlah emisi CO2 yang dihasilkan untuk memproduksi per ton nikel Kelas 1 dari bijih laterit Indonesia diperkirakan mencapai 59 ton emisi setara CO2. Selain itu, jaringan energi Indonesia yang masih sangat bergantung pada energi fosil, termasuk pada kawasan-kawasan industri yang menjadi pusat utama pemrosesan nikel, diperkirakan menyumbang setidaknya 200 juta ton emisi.

2. Pembangunan PLTU di Sulteng untuk tambang nikel

WALHI Sulteng Respons Pidato Jokowi soal Hilirisasi Tambang NikelIlustrasi Pembangunan PLTU (IDN Times/Dokumen)

Per 2023, WALHI mencatat, terdapat 8 PLTU dengan total Kapasitas 2000 MW yang telah beroperasi di kawasan IMIP Morowali, sedangkan di kawasan PT GNI Morowali Utara terdapat 4 PLTU yang tengah beroperasi dengan total kapasitasnya mencapai 1000-an MW.

“Rencana transisi energi yang digaungkan pemerintah Indonesia tidak lebih dari tipu-tipu transisi energi, nyatanya dengan lahirnya Perpres no 112/2022 telah meloloskan PLTU yang berada di dalam kawasan industri terbangun," Aulia menerangkan.

3. Partisipasi rakyat semakin hilang

WALHI Sulteng Respons Pidato Jokowi soal Hilirisasi Tambang NikelIlustrasi Tambang (IDN Times/Aditya Pratama)

"Tentu dampak lahirnya dari regulasi ini ditanggung oleh rakyat, bagaimana nelayan desa Tanauge harus merasakan dampak kehilangan wilayah tangkap mereka akibat kapal tongkang batubara, begitupun dengan para pekerja di tambang yang terganggu kesehatannya akibat debu hitam hasil pembakaran batubara. Ini adalah praktik kejahatan pemerintah atas rakyatnya” tegas Aulia Hakim.

Sebagai sebuah pidato dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, pernyataan Presiden Joko Widodo tentang hilirisasi nikel, sambung Aulia, menjadi ironi tersendiri. Pasca disahkannya UU Minerba dan Perppu Cipta Kerja, perizinan kepada korporasi menjadi dipermudah, namun hak partisipasi rakyat dalam penentuan tata ruang, dan pengendalian pemberian izin berdasar daya dukung dan daya tampung lingkungan semakin hilang.

"Dengan sifat industri ekstraktif yang rakus lahan dan rakus air, perluasan industri tambang akan bertabrakan dengan kepentingan hidup warga yang membutuhkan kelestarian lingkungan, kepastian hak atas lahan, serta terjaganya sumber-sumber air mereka Mendorong industri berkembang tanpa upaya perlidungan terhadap lingkungan dan hak asasi manusia hanya akan mengukuhkan kolonialisme modal terhadap tanah air kita."

Baca Juga: Puluhan Pohon Ditebang untuk Bangun MPP Makassar, Walhi Sulsel: Ironi!

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya