Asupan Protein Hewani, Kunci Pertumbuhan Optimal Anak Indonesia
Mengonsumsi ayam probiotik jadi pilihan bijak hidup sehat
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times – Dalam dua tahun pertama kehidupan, anak mengalami pertumbuhan sangat cepat. Tinggi badan anak bisa bertambah hingga 25 sentimeter per tahun. Grafik pertumbuhannya kemudian menurun, yaitu 5-6 cm per tahun, setidaknya hingga memasuki masa pubertas.
Karena masa-masa awal kehidupan sangat krusial, anak perlu dukungan nutrisi yang tepat. Prof. dr. drg. Sandra Fikawati MPH, Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) menyebut bahwa protein, terutama hewani, jadi zat gizi paling dibutuhkan di masa pertumbuhan yang cepat.
“Jika kita kurang memberikan protein, otomatis pertumbuhannya tidak optimal, atau tidak sebaik yang seharusnya,” kata Sandra, dalam talkshow yang disiarkan lewat kanal YouTube Japfa Indonesia, 30 Mei 2024.
Pada tahun 2021, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF telah merekomendasikan keragaman pangan minimal untuk anak. Di dalamnya ada delapan kelompok pangan utama untuk anak, antara lain: ASI, padi-padian, akar, umbi-umbian; kacang-kacangan; produk susu; makanan daging; telur; buah dan sayuran.
Sandra mengungkapkan, WHO dan UNICEF juga merekomendasikan konsumsi protein hewani bagi anak. Baik untuk pemberian ASI maupun non-ASI, anak disarankan memakan daging, unggas, ikan, atau telur setiap hari, atau sesering mungkin. Kelompok pangan tersebut dikaitkan dengan peningkatan asupan energi, protein, asam lemak esensial, vitamin B12, vitamin D, fosfor, dan selenium, serta Panjang badan yang lebih tinggi.
“Jadi tidak ada alasan lagi kita tidak memberikan protein hewani kepada anak. Ada bukti bahwa anak yang mengonsumsi telur dan makanan daging memiliki asupan lebih tinggi dari berbagai jenis zat gizi yag penting untuk pertumbuhan linier yang optimal,” ucapnya.
Namun sayang, Sandra menambahkan, cukup banyak bukti bahwa prevalensi asupan dari makanan penting itu sangat rendah untuk anak di banyak negara.
Baca Juga: Kenapa Makanan Tinggi Protein Hewani Lebih Diprioritaskan dalam MPASI?
Bisa mencegah stunting, masyarakat butuh akses memadai terhadap protein hewani
Sandra yang juga Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI mengungkap alasan mengapa manusia memerlukan pangan hewani. Salah satunya karena mengandung banyak zat gizi yang tidak terdapat pada pangan nabati. Pangan hewani padat akan zat gizi makro dan mikro, dengan mutu protein tinggi serta asam amino esensial (AEE) lengkap.
Tubuh kita membutuhkan 20 jenis asam amino, di mana sembilan di antaranya asam amino esensial yang harus didapatkan dari makanan. Dengan kata lain, tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh.
“Jadi kita harus mengonsumsi makanan dengan asam amino esensial yang lebih lengkap. Dan itu terdapat pada protein hewani,” kata Sandra.
Di awal kehidupan, pertumbuhan fisik dan otak sejajar. Kurangnya AAE pada awal kehidupan dapat menyebabkan penurunan linear pertumbuhan dan kognisi. Sandra mencontohkan, anak dengan pertumbuhan pendek di awal alias kekerdilan (stunting) bisa dipastikan pertumbuhan otaknya tidak optimal.
“Ada paper yang mengatakan bahwa ada 62 persen anak (di dunia). Dan ternyata anak stunting itu memiliki konsentrasi sembilan asam amino esensial yang rendah,” ujarnya.
Mengutip sebuah penelitian ilmiah pada 2018, Sandra menyebut bahwa analisis terhadap 112 ribu lebih anak usia 6-23 bulan di 49 negara menemukan bukti hubungan kuat antara stunting dengan rendahnya konsumsi protein hewani seperti susu, daging/ikan, dan telur. Selanjutnya, di antara anak-anak usia 18-23 bulan, terjadi pengurangan stunting dengan mengonsumsi protein tersebut.
“Semakin bervariasi jenis protein hewani yang dikonsumsi, semakin rendah persentase stunting,” Sandra menerangkan.
Di Indonesia, meski kecil, ada tren peningkatan konsumsi protein hewani di antara semua kelompok pangan. Untuk kelompok daging, termasuk unggas, tingkat konsumsinya 3,53 persen pada tahun 2022. Bandingkan dengan tahun 2016 yang hanya 2,65 persen.
Namun faktanya, konsumsi daging dan unggas masih berkutat di sekitar perkotaan. Sedangkan tingkat konsumsi di desa masih sangar rendah. Secara umum, penduduk Indonesia juga lebih banyak mengonsumsi protein nabati.
“Harus ada solusinya. Bagaimana caranya supaya di negara kita, konsumsi protein hewani itu bisa dapat akses untuk semuanya,” Sandra menekankan.