Represi Informasi di Papua: Intimidasi Jurnalis hingga Blokir Internet

Mengupas dari perspektif jurnalis dan Hak Asasi Manusia

Makassar, IDN Times - Masih segar dalam ingatan ketika pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), memperlambat dan memutus akses internet di Provinsi Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus 2019. Kemkominfo beralasan langkah ini ditempuh demi membantu percepatan situasi keamanan di tengah protes besar-besaran masyarakat yang diwarnai kerusuhan, lantaran dipicu perlakuan rasialisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada 16 Agustus 2019.

Blokir internet baru dicabut secara bertahap pada 3 September 2019. Artinya, selama nyaris empat pekan, rakyat Papua tak sanggup melakukan pertukaran informasi. Sanak keluarga tak bisa bertukar kabar, proses birokrasi pemerintahan daerah juga tersendat. Puncaknya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 2 Juni silam menyatakan pemerintah telah melanggar hukum. Tindakan perlambatan dan pemutusan internet di Papua dianggap telah menyalahi ketentuan Perundang-undangan.

Putusan PTUN dan pembatasan informasi yang terjadi di Papua pada tahun lalu menjadi topik utama dalam webinar diskusi bertajuk "Akses Informasi di Tanah Papua: Tantangan dan Harapan Keterbukaan Informasi Publik" yang diadakan oleh BEM FISIP Universitas Indonesia pada Kamis (18/6) malam.

1. "Akses Informasi di Tanah Papua: Tantangan dan Harapan Keterbukaan Informasi Publik"

Represi Informasi di Papua: Intimidasi Jurnalis hingga Blokir InternetWebinar Diskusi Publik Akses Informasi Publik di Tanah Papua: Tantangan dan Harapan (Dok. Istimewa/IDN Times)

Kebebasan bertukar informasi jadi hal utama dalam proses kerja jurnalis dan pers. Namun, pembatasan membuat masyarakat di luar wilayah Papua sulit memperoleh kabar tentang keadaan terkini wilayah paling timur Indonesia tersebut. Arnoldus Belau, pemimpin redaksi surat kabar lokal Suara Papua, menjabarkan beberapa contoh sulitnya juru berita melakukan tugas.

Salah satu di antaranya ialah birokrasi panjang kerap menjegal niatan wartawan asing yang hendak meliput. Arnoldus menganggap bahwa negara memberlakukan standar ganda dan secara sadar menutup akses informasi kepada pihak-pihak luar. Situasi serupa juga dialami oleh para jurnalis media lokal.

"Dalam beberapa kasus, upaya jurnalis Suara Papua dalam melakukan konfirmasi dan verifikasi itu sulit sekali. Terutama dalam informasi tentang kasus-kasus yang melibatkan aparat keamanan. Wartawan di sini juga sering mendapat intimidasi. Ini dialami baik wartawan asli Papua dan luar Papua," ungkap Arnoldus.

2. Para pewarta rentan terjebak dalam embedded journalism dan kesulitan memperoleh berita dari pihak pertama

Represi Informasi di Papua: Intimidasi Jurnalis hingga Blokir Internet(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding

Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, turut berbicara dalam sudut pandang jurnalis. Kebijakan pemblokiran internet di Papua tahun lalu disebutnya turut membatasi alur informasi dari media yang terverifikasi. Berita terpercaya akhirnya tidak bisa dibaca oleh masyarakat. Selain itu, perspektif pemerintah yang menitikberatkan pada keberhasilan pembangunan Papua disebut turut berimbas pada pekerjaan jurnalistik.

Pembatasan informasi turut disinggung. Sebagai pimred media yang berbasis di Jakarta, Uni Lubis menjelaskan sukarnya menggali fakta di lapangan secara langsung. "Problem dari dulu adalah sulit sekali menerima informasi dari tangan pertama. Kecuali bagi mereka yang memiliki koresponden di Papua. Suasana pendekatan keamanan terasa sekali. Gerak-gerik wartawan juga diikuti," paparnya.

Lantaran sulitnya menerima informasi dari pihak pertama, wartawan lokal pun terjebak dalam embedded journalism atau situasi di mana para jurnalis hanya mendapat informasi dari aparat keamanan lokal. Pada akhirnya, pemberitaan pun berat sebelah serta pewarta tidak leluasa melakukan tugasnya. 

3. Dalam memandang masalah Papua, semua pihak memiliki sudut pandangnya masing-masing

Represi Informasi di Papua: Intimidasi Jurnalis hingga Blokir InternetAksi Aliansi Mahasiswa Papua di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (16/6). IDN Times/Dok. Istimewa

Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc, Guru Besar Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI, memandang bahwa keterbukaan jurnalisme publik di Papua masih menjadi tantangan serius. Di sisi lain, dinamika yang dialami semua pihak (pemerintah, masyakarakat dan jurnalis) dalam memandang isu Papua tak lepas dari tiga perspektif yang kerap dipakai dalam masalah Papua. Yakni nasionalisme (konflik dengan kelompok separatis), pembangunan (proyek infrastruktur) dan humanisme/lingkungan (kerusakan alam akibat aktivitas tambang).

Kendati demikian, Bambang menjelaskan bahwa seluruh sudut pandang yang dipakai dalam banyak pemberitaan memiliki kelemahan masing-masing. Pada sisi nasionalis, rentan tumbuh kecurigaan. Dalam pembangunan, Papua bisa saja hanya dipandang sebagai objek. Dan isu lingkungan hanya meninggalkan beban sejarah di pundak generasi muda.

Bambang pun berharap agar informasi tentang Papua bertujuan menumbuhkan pemahaman, tidak merendahkan penduduk asli serta terbangunnya dialog yang adil dan bermartabat bagi semua pihak.

"Memang untuk menjadi nasionalis, haruslah juga memiliki pandangan yang dalam tentang sisi yang lain. Kalau tidak, kita akan cenderung menyederhanakan masalah. Saya kira kita harus mendalami aspek lingkungan hidup dan korban. Jadi kita juga tidak semata-mata menutup perspektif yang coba dikemukakan oleh pihak lain," ujar Bambang.

Baca Juga: Dewan Adat Papua: Billy Mambrasar Bukan Representasi Papua

4. Yang diperlukan adalah proses rekonsiliasi mendalam, serta pemberian hak penuh sebagai Warga Negara Indonesia

Represi Informasi di Papua: Intimidasi Jurnalis hingga Blokir Internet(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Olha Mulalinda

Di sisi lain, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI yakni Dr. Irwansyah, S.Sos., M.A menyodorkan sudut pandang historis. Dalam Perjanjian New York 1962, awal proses penyerahan wilayah tersebut dari Belanda ke Indonesia, PBB (waktu itu diwakili oleh UNTEA) dan pemerintah Indonesia menjamin empat hal untuk masyarakat Papua. Pasal 22 ayat 1 menjamin kebebasan berbicara, bergerak dan berkumpul.

Irwansyah turut menjabarkan laporan Human Rights Watch pada tahun 2015 tentang aktivitas jurnalis di Papua yang dibatasi. Mulai dari pembatasan akses media asing, jurnalis asing harus mendapat surat jalan dari aparat keamanan, rentannya peliput mendapat intimidasi serta penempatan agen rahasia di dalam ruang redaksi. Menurutnya, ini adalah tindakan represif yang kerap dilakukan oleh rezim Orde Baru namun dengan cara berbeda.

Menurutnya, untuk mengatasi masalah di Papua perlu proses rekonsiliasi yang mendalam alih-alih dengan cara represif. "Secara konstitusional, urusan sudah selesai. Yang belum selesai adalah bagaimana stigma dan prasangka yang dibangun dengan kepentingan. Itu kemudian menjadi bola salju yang terus digulirkan sebagai bentuk pengalihan terhadap persoalan utama yang dialami sebagai WNI," paparnya.

"Proses rekonsiliasi Papua tidak sekadar hanya sebuah dialog, tetapi memberi kemerdekaan hak dasar Warga Negara Indonesia yang di dalamnya adalah penduduk Papua," pungkas Irwansyah.

Baca Juga: SEJUK-Internews Bahas Fenomena Rasisme dan Peran Media Massa

https://www.youtube.com/embed/L7-UE_ROhZY

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya