Extinction Rebellion, Aksi Langsung Para Pemuda Melawan Krisis Iklim

Saat ini punya anggota aktif di beberapa kota-kota besar

Makassar, IDN Times - Isu krisis iklim mulai diperhatikan oleh banyak orang selama beberapa tahun terakhir. Terlebih efeknya sudah sangat terasa: curah hujan tinggi berujung banjir, cuaca ekstrem serta kekeringan parah silih berganti terjadi. 

Demi menyadarkan khalayak luas atas gawatnya masalah ini, beberapa gerakan sipil mulai bermunculan membawa isu tersebut. Salah satunya adalah Extinction Rebellion, gerakan sipil tanpa kekerasan, yang lahir di Inggris pada Mei 2018.

"Extinction Rebellion adalah sebuah geralan masyarakat sipil yang bergerak untuk mencegak kerusakan alam akibat krisis iklim dan krisis ekologis. Sekarang kita sudah ada di 79 negara, termasuk di Indonesia," kata Yudi Iskandar, Koordinator Nasional Extinction Rebellion Indonesia, dalam sesi diskusi daring "101 Climate Change Actions" episode 9 yang diselenggarakan IDN Times pada Senin sore (13/12/2021).

1. Gerakan sipil Extinction Rebellion (XR) memakai prinsip Aksi Langsung Nirkekerasan

Extinction Rebellion, Aksi Langsung Para Pemuda Melawan Krisis IklimAksi gerakan sipil Extinction Rebellion Indonesia saat memperingati Hari Laut Sedunia 8 Juni 2021 di Kota Makassar. (Instagram.com/extinctionrebellion.id)

Berbicara dengan Editor-in-Chief IDN Times yakni Uni Lubis, Yudi banyak bercerita tentang seluk-beluk gerakan berakronim XR tersebut. Salah satunya prinsip Nonviolent Direct Action (NDVA, Aksi Langsung Nirkekerasan) yang jadi napas gerakan tersebut. Pihaknya yakin bahwa isu krusial seperti krisis iklim harus disebar tanpa cara destruktif.

"Jika kita mampu mengumpulkan massa 3,5 persen dari populasi setempat dan melakukan NVDA secara terus menerus dan masif, itu akan mencapai perubahan sistemik," ungkapnya.

"NVDA ini secara historis telah terbukti lebih berhasil, mencapai 63 persen dibandingkan aksi kekerasan," lanjut Yudi.

Memakai istilah "pemberontakan sipil", Yudi mengatakan bahwa masuknya gerakan XR ke Indonesia pada Agustus 2019 tak lepas dari kebijakan pemerintah yang tak juga memihak lingkungan.

"Kebijakan pemerintah di Indonesia dan pemimpin dunia akan membawa kita ke (peningkatan) 3-4 derajat suhu akibat pemanasan global. Jadi kebayang kan bencana yang akan kita hadapi itu seperti apa nanti," tutur Yudi.

2. XR Indonesia memilih cara-cara damai dalam membawa isu gawatnya krisis iklim

Extinction Rebellion, Aksi Langsung Para Pemuda Melawan Krisis IklimMural "Declare Climate Emergency!" yang dibuat oleh gerakan sipil Extinction Rebellion Indonesia di salah satu sudut Kota Makassar. (Dok. Istimewa)

Sekarang, anggota XR Indonesia tersebar di banyak kota besar. Mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Samarinda, Padang, Jayapura dan masih banyak lagi. Sekali lagi, ini tak lepas dari gawatnya krisis iklim yang mengancam kehidupan seluruh spesies di setiap penjuru bumi.

"Kami menginisiasi gerakan pemberontakan sipil XR sebagai wadah bagi masyarakat dalam memperjuangkan haknya untuk hidup, biar kita sama-sama keluar dari krisis iklim. Karena memang ini sudah sangat parah. Ini baru (naik) 1,2 derajat dari seluruh rata-rata (suhu di masa) pra-industri," kata Yudi.

Lantas apa perbedaan dengan gerakan lain? Lantaran prinsip NVDA, Extinction Rebellion memilih cara-cara damai ketika menyampaikan pesan. Tapi, pesan-pesan dalam poster mereka singkat dan menohok, kadang juga jenaka.

"Kebanyakan kita melakukan aksi kreatif yang menarik, yang gak bikin orang jengkel," seloroh Yudi.

"Selain aksi, kita juga aktif melakukan XR 101, yakni memperkenalkan isu krisis iklim dan kondisi gawat bumi sekarang. Kita memperkenalkan gerakan kami, dan mengajak masyarakat bergabung," imbuhnya.

Baca Juga: Fakta Menarik Ekonomi Sirkular, Bisa Jadi Mitigasi Perubahan Iklim! 

3. Seluruh aksi dikemas menarik, tanpa menanggalkan urgensi isu yang dibawa

Extinction Rebellion, Aksi Langsung Para Pemuda Melawan Krisis IklimAksi bertajuk "Shoe Strike" yang digelar oleh gerakan sipil Extinction Rebellion Indonesia di Monumen Jogja Kembali, Kota Yogyakarta, pada Agustus 2020. (Instagram.com/extinctionrebellion.id)

Sejumlah contoh aksi teaterikal yang pernah XR Indonesia lakukan antara lain "Ice of Death", di mana para anggota seolah-olah hendak gantung diri di atas balok es.

"Itu bermakna jika es di kutub mencair, maka akan menaikkan volume air laut global. Ketika itu meninggi, maka pulau-pulau akan tenggelam. Jika pulau-pulau tenggelam, tentu kita akan punah," papar Yudi.

"Ada juga teaterikal 'Sea of Blood', sebagai gambaran bahwa bencana krisis iklim ini sudah semakin parah, maka akan ada banyak nyawa yang melayang," sambungnya.

Selain itu, XR aktif membuat mural-mural di beberapa titik kota-kota besar Indonesia. Ada juga instalasi seni, demonstrasi tunggal, acara diskusi, serta menggandeng kelompok lain. Semua dikemas penuh warna, tanpa menanggalkan urgensi isu krusial yang mereka usung.

"Kita bersifat inklusif, terbuka buat siapapun. Kecuali perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Selain itu, kita terbuka untuk kolaborasi dengan siapapun. Selama ini kita juga berkolaborasi dengan pihak-pihak eksternal, secara langsung atau online," jelas Yudi.

Selain krisis iklim, XR Indonesia juga menyuarakan isu sosial lain. Mulai dari gender, keamanan pangan, eksploitasi tambang, deforestasi hingga proyek pembangunan PLTU Indramayu-2.

Baca Juga: Ecocamp, Pendidikan Iklim Informal Bangun Kesadaran Lingkungan

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya