Menjaga Kedaulatan dan Merajut Perdamaian di Laut China Selatan

Indonesia memiliki posisi yang kuat dalam diplomasi

Makassar, IDN Times - Laut China Selatan (LCS) lebih dari sekadar hamparan air luas. Ia adalah jalur perdagangan vital, gudang harta karun sumber daya alam, sekaligus arena sengketa geopolitik yang kompleks. Bagi Indonesia, LCS merupakan halaman depan yang jadi cerminan tantangan dalam menjaga kedaulatan dan mewujudkan perdamaian di kawasan.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto telah menegaskan posisi teguh Indonesia dalam sengketa LCS. Dia menggarisbawahi hak berdaulat Indonesia atas Laut Natuna Utara, yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Klaim sepihak China melalui “Nine Dash Line” yang kontroversial, dan kini telah diperluas menjadi “Ten Dash Line”, menjadi ancaman nyata bagi kedaulauatan negara.

“Pemerintah Indonesia terus menaruh perhatian dan berkepentingan atas hak berdaulat yang seharusnya, dan berhak mengelola kekayaan alamnya. Dan sebaliknya, negara lain tidak berhak memanfaatkan kekayaan alam itu tanpa izin dari Indonesia,” kata Hadi saat menjadi keynote speaker pada webinar Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bertema "Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan", yang digelar daring, 19 Maret 2024.

Laut China Selatan merupakan wilayah dengan nilai strategis tinggi dan menyimpan sumber daya alam melimpah. Sepertiga kapal kargo perdagangan dunia melewati kawasan ini. LCS juga menyimpan cadangan gas alam dan minyak bumi. Di sektor perikanan, LCS berperan penting dalam keanekaragaman hayati maritim, menyimpan cadangan ikan dunia, dengan potensi kekayaan alam melimpah.

LCS jadi sumber ketegangan akibat sengketa teritorial berupa klaim tumpang tindih dari enam negara, yaitu Brunei Darussalam, Vietnam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan China . Akar masalah sengketa adalah argumen China bahwa LCS merupakan wilayah kedaulatannya berdasarkan klaim hak sejarah. 

Sengketa LCS bukanlah sekadar perebutan wilayah dan sumber daya. Ia adalah arena pertarungan kepentingan geopolitik yang lebih luas. Ambisi China untuk mendominasi kawasan, diimbangi dengan kehadiran militer Amerika Serikat dan sekutunya, telah menciptakan dinamika yang rawan konflik.

Sengketa itu diketahui telah sering memicu insiden. Ada kalanya kapal penjaga pantai China dan milisi nelayan sipilnya menghalau kapal negara lain menangkap ikan di LCS. Ada juga insiden saling tabrak antara kapal China dan Filipina, hingga saling halau dengan laser dan water canon.

“Kita mencatat seringnya terjadi insiden di Laut China Selatan, yang bila tidak dikelola dengan baik akan memicu konflik terbuka… mengancam stabilitas dan perdamaian di LCS,” ucap Menko Polhukam.

Menko Polhukam menyampaikan, Indonesia memiliki kepentingan besar untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan. Karena kawasan itu berada di halaman depan Indonesia, instabilitas dan konflik bakal jadi ancaman langsung bagi keamanan dan kepentingan nasional.

Baca Juga: China-Filipina Masih Geger soal Laut China Selatan 

Menjaga Kedaulatan dan Merajut Perdamaian di Laut China SelatanMenteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Hadi Tjahjanto ketika berada di Papua. (Dokumentasi media Polhukam)

Indonesia, menyadari potensi dampak negatif dari konflik ini, telah mengambil peran aktif dalam menjaga perdamaian di LCS. Melalui ASEAN, Indonesia mendorong dialog dan kerja sama untuk meredakan ketegangan. Di antaranya melalui insiatif mempercepat proses negosiasi kode etik (code of conduct/COC) di Laut Cina Selatan yang disepakati seluruh negara ASEAN dan China pada tahun 2023. 

COC ditujukan untuk mengelola tata perilaku negara di LCS. Ditargetkan, COC dapat difinalisasi dalam tiga tahun, yaitu pada 2025. COC diharapkan jadi sebuah dokumen efekfit, substantif, dan actionable untuk menghindari ekskalasi sekaligus meningkatkan mutual trust di antara negara-negara berkepentingan di LCS.

Atas inisiafit Indonesia, pada tahun 2019 ASEAN menyepakati ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP), dengan merangkul semua negara major power, termasuk Amerika Serikat dan China. AOIP menjadi bukti komitmen untuk membangun arsitektur keamanan regional yang inklusif.

“Kita harus mampu mengubah LCS menjadi sea ofpeace, kita terus menyerukan agar semua pihak menahan diri dari aksi yang dapat memicu insiden, menjaga status quo, serta menggunakan cara-cara non kekerasan dan perundingan damai yang berdasarkan norma hukum internasional,” ucap Hadi.

Diplomasi "jalur satu setengah" yang dijalankan Indonesia, melibatkan tidak hanya pemerintah, tetapi juga akademisi, think tank, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Tujuannya adalah membangun kepercayaan dan mencari solusi damai melalui dialog yang konstruktif.  Workshop on Managing Potential conflict on South China Sea yang dilaksanakan secara berkala sejak tahun 1990, menunjukkan bahwa di tengah ketegangan di kawasan LCS, kerja sama tetap terbuka. 

Indonesia juga tidak tinggal diam dalam memperkuat pertahanan dan keamanan di wilayahnya. Peningkatan alutsista dan pembangunan infrastruktur pertahanan di Laut Natuna menjadi bukti keseriusan dalam menjaga kedaulatan.

“Salah satu kunci dialog dengan RRT adalah melalui ASEAN. Indonesia sebagai natural leader ASEAN, adalah motor penggerak yang selalu menghasilkan terobosan. Kita perlu memperkuat soliditas dan sentralitas asean, serta membangun posisi bersama asean untuk isu laut cina selatan,” kata Hadi.

“Kita dapat melihat permasalahan di LCS melibatkan banyak pihak, perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi situasi yang berkembang. salah perhitungan akan membawa pada situasi konflik yang akan merugikan bersama.”

ASEAN Mitra Tepat untuk Memperkuat Kedaulatan Wilayah

Pada webinar ISDS, Litbang Kompas memaparkan hasil survei tentang kedaulatan, khususnya di Laut cina Selatan. Survei mengukur persepsi masyarakat tentang ancaman di LCS, pola komunikasi, serta harapan terkait isu kedaulatan.

Survei digelar Februari 2024, melibatkan 312 responden berusia 17-60 tahun di lima kota, yaitu Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Survei menggunakan metode simple random sampling dengan margin of error 5,6 persen.

Dimas Okto Danamasi, peneliti Litbang Kompas mengungkapkan, berdasarkan hasil survei,  mayoritas responden mempersepsikan perselisihan antar negara di LCS sebagai isu kedaulatan wilayah. Sebanyak 30,5 persen respons menganggap batas maritim atau negara jadi isu utama, sedangkan 29,7 persen menjawab hal itu berkaitan dengan sumber daya alam. 

“Kalau dikategorikan dalam segi-segi kedaulatan, tiga tema utama jawaban responden adalah kewilayahan, sisanya meliputi ekonomi, hukum, dan politik,” ucap Dimas.

Ditanya mengenai isu ancaman bagi Indonesia di perairan LCS, 37,5 persen atau sebagian besar responden melihat ada ancaman perebuatan penguasaan wilayah maritim di sana. Pilihan terbanyak kedua bersifat netral, yaitu 22 persen menganggap tidak ada ancaman dari luar bagi Indonesia di LCS.

“Dari hasil ini bisa kita tarik benang merahnya, bahwa ancaman yang dipersepsi masyarakat adalah soal kewilayahan, sekali pun ada juga pandangan bahwa tidak ada yang mengancam di Laut cina Selatan,” ucap Dimas.

Lebih lanjut, survei menangkap pesepsi mayoritas responden melihat cina datang sebagai ancaman. Responden juga melihat pentingnya Indonesia bermitra dengan negara lain untuk memperkuat kedaulatan di LCS.

“39,1 persen memilih ASEAN sebagai mitra yang seharusnya Indonesia gandeng untuk memperkuat posisi kedaulatannya,” kata Dimas.

Menurut responden, Indonesia diharapkan membuat aliansi pertahanan dengan ASEAN. Ada juga yang menyarankan kerja sama penelitian dan teknologi, pengembangan industri pertahanan, hingga latihan bersama. 

Menjaga Kedaulatan dan Merajut Perdamaian di Laut China SelatanSurvei Litbang Kompas soal isu Laut China Selatan. (Dok. ISDS)

Diplomasi Jadi Kunci Penyelesaian Sengketa, Tapi Butuh Waktu Lama

Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, Duta Besar Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Filipina, menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap prinsip ASEAN Centrality dalam kebijakan luar negeri. Hal ini disampaikan dalam konteks meningkatnya eskalasi di Laut China Selatan.

"Peningkatan eskalasi penyelesaian dari ketegangan hingga menjadi konflik tidak menguntungkan siapa pun. Kita harus terus berupaya mencari penyelesaian yang bisa disepakati bersama," ujar Agus.

Agus menekankan pentingnya diplomasi dan negosiasi sebagai instrumen utama dalam penyelesaian konflik. Diplomasi dan negosiasi memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mencapai kesepakatan yang bisa memuaskan semua pihak.

“Di dalam diplomasi atau negsiasi, tidak bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu, satu bulan, tapi berjalan dalam jangka lama. Nikmati saja negosiasi itu sampai kesepakatan tercapai,” Agus menambahkan.

Agus juga menyoroti peran penting diplomasi dalam kerangka 'element of national power diplomacy'. Dia optimistis bahwa Indonesia memiliki posisi yang kuat dalam perimbangan kekuatan di kawasan.

Agus mengingatkan bahwa kesalahpahaman dan kesalahan interpretasi seringkali menjadi pemicu konflik. Pendekatan diplomatik yang sabar dan berkelanjutan menjadi kunci untuk mencapai solusi.

“Hendak kita tidak terlalu terjerumus pada satu dimensi, ingin penyelesaian cepat dan mutlak. Terkadang masalah-masalah dengan hubungan internasional penyelesaiannya melalui negosiasi melalui diplomasi, dan itu memerlukan waktu yang lama.”

Baca Juga: Menlu Retno ke Filipina Bahas Isu Laut China Selatan hingga Rohingya 

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya