QRIS: Jembatan Digital Menuju Ekonomi Inklusif

Makassar, IDN Times - Pernahkah kamu sadar betapa drastisnya cara kita bertransaksi berubah? Dulu, dompet tebal penuh lembaran rupiah adalah pemandangan biasa. Lalu kita kenalan sama kartu ATM, gesek-gesek di mesin EDC, sampai akhirnya tiba di era sekarang: cukup buka aplikasi, arahkan kamera ke kode kotak hitam-putih, dan voila!—pembayaran beres dalam hitungan detik.
Di balik kemudahan ini, ada satu nama yang perlu kita kenal: QRIS (dibaca KRIS). Diluncurkan oleh Bank Indonesia (BI) tepat di hari kemerdekaan RI ke-74 pada 17 Agustus 2019, QRIS adalah singkatan dari Quick Response Code Indonesian Standard. Sederhananya, ini adalah satu standar kode respons cepat untuk semua jenis pembayaran digital di Indonesia.
Sebelum ada QRIS, tiap aplikasi pembayaran punya "bahasa"-nya sendiri. Kalau mau bayar pakai aplikasi A, tokonya harus sedia kode QR dari A. Mau pakai dompet digital B, harus ada kode QR B. Ribet, kan? Nah, QRIS datang sebagai "penerjemah universal". Cukup satu kode QR di kasir, semua aplikasi pembayaran, dari mobile banking sampai dompet elektronik, bisa langsung memindainya. Praktis untuk kita, efisien untuk penjual.
Bagi para pemilik usaha, dari kafe gaul sampai warung kelontong, QRIS membawa berkah tersendiri. Gak perlu pusing siapkan uang kembalian, dan semua transaksi tercatat rapi secara digital. Aman dan mudah dilacak!
Namun, di tengah arus digitalisasi yang kencang ini, pertanyaannya adalah: apakah kita hanya sekadar ikut-ikutan, atau benar-benar paham apa yang sedang terjadi?
Peran Bank Sentral dalam Transformasi Digital
Bank Indonesia bukan cuma institusi yang mencetak uang. Di era digital, BI bertindak sebagai arsitek utama yang merancang fondasi ekonomi digital kita. QRIS adalah salah satu mahakarya mereka, bagian dari sebuah cetak biru raksasa bernama Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.
Gampangnya, BSPI 2025 adalah peta jalan BI untuk membawa Indonesia memasuki era ekonomi digital yang modern, aman, dan inovatif. QRIS menjadi bukti nyata visi ini, yaitu mengintegrasikan layanan bank dengan fintech dan menciptakan infrastruktur pembayaran ritel yang super cepat dan efisien. Tujuannya mulia: memastikan semua orang, termasuk UMKM di pelosok, bisa ikut menikmati kue ekonomi digital.
Dan hasilnya? Bukan main-main.
Data Bank Indonesia menunjukkan lompatan kuantum. Pada tahun 2020, transaksi QRIS baru mencapai 124 juta kali dengan nilai Rp8,2 triliun. Coba bandingkan dengan data tahun 2024: jumlah transaksi meroket hingga 6,2 milia kali dengan total nilai Rp659,9 triliun! Penggunanya pun membengkak dari 5,8 juta menjadi 55 juta orang. Jumlah merchant atau pedagang yang bergabung juga meledak dari 6 juta menjadi 36 juta.
Di Sulawesi Selatan saja, sepanjang tahun 2024, terjadi 78 juta transaksi QRIS senilai Rp10,3 triliun, dengan 1,22 juta pengguna aktif. Ini menunjukkan antusiasme yang luar biasa di tingkat daerah.
“Bank Indonesia menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh perbankan atas kontribusinya dalam mempercepat digitalisasi sistem pembayaran,” kata Rizki Ernaldi Wimanda, Kepala Perwakilan BI Sulsel, dalam keterangan tertulis pada kegiatan halalbihalal di Makassar, 24 April 2025.
BI Sulsel juga mengapresiasi para pengusaha yang kini telah merangkul transaksi digital, di mana jumlah merchant QRIS di daerahnya telah mencapai 1,098 juta, yang mayoritas adalah UMKM.
“Kami terus mendorong pemanfaatan QRIS sebagai metode pembayaran yang lebih praktis, aman, dan efisien bagi UMKM. Dengan ekosistem digital yang semakin kuat, kita berharap pertumbuhan ekonomi daerah dapat semakin meningkat,” ujar Rizki.
Literasi dan Inklusi Keuangan Jadi Tantangan

Di balik angka-angka fantastis tadi, ada satu fakta yang cukup mengkhawatirkan. Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 dari OJK, tingkat inklusi keuangan (akses ke layanan keuangan) kita sudah tinggi, yaitu 85,10%. Artinya, banyak sekali orang yang sudah pakai produk keuangan digital.
Ironisnya, tingkat literasi keuangan (pemahaman mendalam tentang produk dan risikonya) baru mencapai 49,68%. Artinya, lebih dari separuh populasi kita sebenarnya belum "melek" finansial.
Kesenjangan inilah yang berbahaya. Ibaratnya, banyak yang sudah punya mobil balap, tapi tidak tahu cara mengemudikannya dengan aman. Kondisi ini menjadi lahan subur bagi penipuan digital dan menciptakan ketimpangan baru.
Bank Indonesia (BI) sebagai regulator sistem pembayaran, secara aktif berupaya menjembatani kesenjangan tersebut. Salah satu inisiatif utamanya adalah melalui program "QRIS Jelajah Indonesia”. Ini bukan sekadar kampanye, melainkan sebuah gerakan edukasi masif yang dikemas secara kreatif untuk menyasar generasi muda dan masyarakat luas.
Melalui program ini, BI mendorong edukasi langsung ke lapangan. Para peserta diberi misi mengunjungi berbagai destinasi wisata melalui 46 kantor perwakilan BI di seluruh Indonesia. Mereka diajak berkompetisi membuat konten digital kreatif, sembari mengedukasi pedagang yang belum memiliki QRIS, memperkenalkan manfaat QRIS antarnegara kepada para merchant untuk menerima pembayaran dari turis, serta mensosialisasikan fitur-fitur pembayaran digital lain seperti BI-FAST.
“QRIS Jelajah Indonesia hadir sebagai flagship kampanye perluasan digitalisasi sistem pembayaran. Kolaborasi yang sangat era tantara Bank Indonesia dengan generasi muda Indonesia,” kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, dalam video kampanye QRIS Jelajah Indonesia yang dikutip dari video kanal YouTube Bank Indonesia, Selasa (24/6/2025).
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Dicky Kartikoyono juga menekankan bahwa bahwa tingginya minat dan penggunaan QRIS dalam penyelesaian transaksi menuntut penguatan literasi atau pemahaman tentang cara dan keamanan bertransaksi. Oleh sebab itu, diperlukan edukasi dan sosialisasi penggunaan QRIS yang dilakukan pemangku kepentingan secara berkelanjutan.
“Di semua kantor BI, program literasi digital khususnya QRIS jadi salah satu program utama. Tentunya kita lakukan bersama industri (penyedia jasa pembayaran),” ujar Dicky dilansir Antara.
Ia menambahkan bahwa seluruh penyedia jasa pembayaran (PJP), baik bank maupun nonbank, wajib melakukan tugas literasi ini. “Bahkan kami rencanakan hal ini akan menjadi kewajiban yang akan kami enforce ke industri, karena kami tidak bisa sendirian,” dia menambahkan.
Giliran Kita: Jadi Warga Cerdas di Era Digital
Upaya pemerintah tak akan maksimal tanpa peran aktif kita. Di sinilah konsep smart citizen (warga cerdas) menjadi kunci. Warga yang tidak hanya jadi pengguna pasif, tetapi juga kritis, paham, dan mampu beradaptasi.
Menjadi warga yang melek ekonomi digital berarti kita tahu cara aman bertransaksi, bisa membedakan informasi valid dari hoaks, dan tidak gampang terjebak penipuan. Literasi digital dan finansial kini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Bank Sentral sudah membukakan jalan. Kini giliran kita untuk melangkahinya dengan cerdas. Karena QRIS bukan sekadar alat bayar, ia adalah simbol masa depan ekonomi Indonesia yang lebih inklusif, efisien, dan berdaulat. Mari jadi bagian dari perubahan itu!