Menjalani profesi sebagai advokat sekaligus aktivis perempuan dan pendamping hukum secara bersamaan memang tidak mudah. Ros merasa ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun karena komitmen yang telah terpatri dalam hati, ia pun terus menjalani aktivitas ini.
"Kalau misalnya kita tidak siap, pasti kita tidak akan maksimal. Menjadi seorang aktivis perempuan itu juga menjadi nilai plus untuk kita sebenarnya karena banyak perempuan yang tidak bisa menjadi aktivis karena gerakannya," imbuhnya.
Baginya, menjadi aktivis perempuan bukan hanya harus tampil menangani berbagai masalah atau kasus per kasus, tetapi juga memperjuangkan hak-hak perempuan yang mengalami diskriminasi. Namun sayang, kata Ros, yang menjadi masalah adalah perjuangan menghapus diskriminasi itu masih harus terbentur dengan budaya patriarki yang sudah mendarah daging.
"Tantangan besar kita sebagai aktivis perempuan adalah budaya patriarki yang betul-betul sudah mengakar di masyarakat kita dan itu perlahan harus kita kikis. Karena itu kan membuat perempuan tidak maju, kemudian selalu dinomorduakan. Kalau itu dibiarkan, perempuan tidak akan mengalami perkembangan," katanya.