"Kita harus bangga jadi anak Kamoro, bangga jadi anak Papua, bangga berambut keriting dan berkulit hitam, bangga dengan budaya kita, karena itu semua unik".
Timika, IDN Times - Siang itu, Minggu (28/4/2024), hari tampak begitu cerah. Di antara bayang-bayang rerindang pepohonan, sosok seorang budayawan di Mimika yakni Dominggus Kapiyau, tengah berdiri di depan rumahnya di SP 2, Jalan Cenderawasih, Kota Timika, Papua Tengah.
Dengan tubuh tegap dan secuil senyuman yang terlukis di wajahnya, Dominggus yang ramah langsung mengajak kami untuk duduk di dalam teras rumahnya. Di sana, kami berbincang banyak hal tentang budaya Suku Kamoro.
Kamoro atau Mimika Wee adalah satu dari dua suku besar yang mendiami Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah. Suku Kamoro sendiri tersebar di bagian pesisir Mimika, daerah yang juga turut terkena dampak limbah perusahaan tambang emas terbesar di dunia, PT Freeport Indonesia.
"Kamoro memiliki arti manusia yang hidup. Manusia yang hidup menghormati dan menghargai orang lain lebih dari pada dirinya sendiri," ujar Dominggus mengawali perbincangan kami di siang itu.
Sementara Mimika yang merujuk pada suatu tempat, jelas Dominggus, berasal dari kata Mimiyaika yang berarti banjir atau terusan arus yang sedang berjalan.
"Jadi waktu itu, Portugis datang naik di Kononao sana, di kepala air, mereka berada di tepi sungai. Kemudian, pada saat itu sedang terjadi banjir dan mereka tanya ini nama apa. Dijawablah Mimiyaika, banjir sedang berjalan," terang putra asli Suku Kamoro itu.
"Mimi, mumu, itu sama artinya, banjir. Sedangkan ika itu sedang berjalan, sehingga lambat laun dia berubah jadi Mimika. Kami pastikan bahwa Tuhan yang berikan nama itu, tidak ada satu orang pun. Mimika sendiri tidak ada artinya. Dia sesungguhnya dari kata Mimiyaika," imbuhnya.