Ilustrasi perahu yang digunakan oleh masyarakat Luwu, Sulawesi Selatan, pada dekade 1900-an. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)
Alkisah, hiduplah seorang raja bijaksana bernama Datu Luwu yang memimpin rakyatnya dengan adil. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Putri Tadampalik yang kecantikannya tersohor hingga ke Kerajaan Bone. Tertarik dengan keindahan parasnya, Raja Bone mengutus para duta kerajaan untuk meminang sang putri bagi Putra Mahkota Bone.
Meski khawatir melanggar adat yang melarang menikah dengan orang di luar suku, Datu Luwu akhirnya menerima pinangan tersebut untuk menghindari konflik. Tapi, sebelum pernikahan berlangsung, Putri Tadampali terkena penyakit misterius yang menyebabkan tubuhnya penuh bintik dan cairan berbau busuk.
Karena dianggap penyakit menular, Datu Luwu terpaksa mengasingkan sang putri ke tempat terpencil demi keselamatan rakyatnya. Dalam perjalanannya, Putri Tadampali tiba di Pulau Wajo, tempat ia secara ajaib disembuhkan oleh kerbau putih yang menjilati tubuhnya. Sebagai bentuk syukur, ia meminta para pengawalnya untuk menjaga kerbau putih tersebut.
Di Pulau Wajo, Putri Tadampali bertemu Putra Mahkota Bone yang tersesat saat berburu. Pertemuan mereka di sebuah gubuk kecil menumbuhkan benih cinta di hati keduanya. Setelah kembali ke Bone, Putra Mahkota terus memikirkan sang putri hingga ia meminta izin kepada ayahnya untuk kembali melamarnya.
Dengan membawa keris pusaka dari Datu Luwu, utusan Kerajaan Bone mengajukan pinangan resmi, yang akhirnya diterima dengan penuh syukur oleh kedua belah pihak. Pernikahan Putri Tadampali dan Putra Mahkota berlangsung dengan meriah di Pulau Wajo, disaksikan keluarga dari Kerajaan Luwu dan Bone.
Persatuan dua kerajaan ini menjadi simbol kerukunan dan saling pengertian. Cerita ini mengajarkan nilai rendah hati, taat pada orang tua, serta keyakinan bahwa kebajikan akan membawa berkah besar di masa depan.