ilustrasi media sosial (pexels.com/Plann)
Terakhir yang sering disalahpahami ialah tentang citra slow living. Banyak yang menilai bahwa menerapkan gaya hidup slow living harus estetik seperti di Instagram. Padahal bukan seperti itu sebenarnya.
Estetika memang sering diasosiasikan dengan slow living, tapi bukan inti dari gaya hidup ini. Slow living adalah soal kehadiran dan kedekatan dengan hidup, bukan soal memiliki rumah kayu yang rapi atau makanan serba alami yang fioto cantik. Bahkan hidup sederhana di tengah hiruk pikuk kota pun bisa menjadi bentuk slow living sejati.
Slow living adalah ajakan untuk kembali sadar bahwa hidup bukan kompetisi siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling hadir. Miskonsepsi yang beredar sering kali membuat orang ragu untuk memulainya, padahal konsep ini justru bisa diterapkan oleh siapa saja dalam bentuk yang paling sesuai dengan dirinya. Meluruskan pemahaman tentang slow living bukan hanya membuka jalan untuk hidup lebih tenang, tapi juga membebaskan orang dari tekanan sosial yang tak perlu.